Jumat, 24 Januari 2014

SANGGAH MERAJAN



TUGAS
SIVA SIDDHANTA II
SANGGAH MERAJAN

Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H













Oleh:
Nama: Putu Yuli Supriyandana
NIM: 10.1.1.1.1.3852
Kelas: PAH A / V







FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Sejarah Perjalanan Sri Kresna Kepakisan Kedesa Pedawa
Ketika  terjadi peperangan di keraajan mengwi  yang  tidak bisa di redakan, salah satu dari patih dari krajaan yang bernama gusti ngurah pergi meninggalkan kerjaan  dan melarikan anak dari raja menguwi, ketika ini di ketahui oleh sang raja,  raja memerintahkan patih dan para prajurit, untuk mencari igusti ngurah, raja menyuruh patih jika sudah menemukan Igusti ngurah agar membunuhnya.ini disebabkan karna sudah melarikan anak dari raja menguwi. Igusti ngurah mengetahuinya perkataan sang raja, igusti ngurah merasa bersalah dan takut dibunuh. Lalu ia melakukan perjalana  tanpa tahu ia dimana arah dan tujuan bersama istrinya. .Gusti ngurah terus dia berjalan melewati dasa petang yang sekarang ini ,dan sampainya dia di puncak manggu  dia beristirahat bersama  istrinya .sambil ia bersembunyi yang terus dikejar oleh patih yang di utus sang raja menguwi, karna disana kemalaman dan lelah yang menempuh perjalanan jauh. Pagi harinya IGustu ngurah ini melanjutkan perjalanan melewati danau bratan dan sampainya   ke wilayah den bukit (buleleng ).ketika dia sampainya di sebuah desa yang bernama tukad jebol, IGusti ngurah  dan istrinya  beristarahat  disebuah rumah yang baru ( anyar ).Lama disana IGusti ngurah ini merasa was-was akibat dia dicari oleh patih dari kerajaan mengwi  yang akan membunuhnya akibat kesalahan yang dibuatnya,IGusti ngurah ini kemudian melanjutkan perjalanan kedesa Gunung sari yan sekarang di ganti dengan desa pedawa. IGusti ngurah ini tidak langsung di terima disana karna dia menyandang  nama Gusti,warga disana kebanyakan  mesiwa raga (tanpa kasta) menggunakan nama pan  karna disisni  tidak ada yang namanya kasta .  bahasanya yang  tidak menggenal kasta yang nana tidak bersorsinggih  Baik  orang yang lebih tua maupun yang anak anak sama rata dalam mengucapkan bahasa sehari hari . iGusti ngurah  disuruh menghilang kan kastanya jika ingin selamat dari kejaran patih kerajaan mengwi . Igusti ngurah mau menghilang kan kastanya,dan mau menyineb wanga.sehingga sekarang berganti nama pan ketoktok ,pan ketoktok diterima disana . raja mayung yang menerima pan ketoktok dan menyelamatkannya.Suatu ketika patih dari kerajaan mengwi menayakan nama IGusti ngurah  kepada raja pengempelan lalu raja pengempelan menjawab bahwa di desa gunung sari tidak ada catur kasta disini apalagi yang anda tanyakan dengan sebutan IGusti ngurah .Disini hanya memanggil orang dengan sebutan pan, disana patih kerajaan mengwi akhirnya di pulang lagi kekerajaan . pan ketoktok akhirnya selamat dan  menetap di desa gunung sari.pan ketoktok dan istrinya disana membuat pura yang mana puranya hanya ada dua pelingih .dua pelingih ini hanya berupa gedongan  satu dan piasan, gedongannya sebagai pengayatan ida bhatara taman ayun dan piasannya tujuannya sebagai pesandekan ida bhatara dan lelulur yang menghadiri upacara (piodalanya). Suatu  ketika  Pan ketoktok kembali melihat rumah yang dia singgahi sebelum melanjutkan perjalanan ke gunung sari.dan istrinya , ketika sampainya dirumah tersebut rumah itu masih utuh seperti semula. Rumah itu  kemudian hancurkan karna pan ketotok tidak tinggal disana . smpainya pan ketotok di desa gunung sari  tepatnya di wilayah mayung pan ketoktok  terus di landa musibah yang nama  ini berupa semut yang terus mengganggu dia dan istrinya, berserta anaknya.maka dari itu pan ketotok meninggalkan mayung dan tinggal di dusun desa.  Panketoktok kemudian membuat sanggah (merajan dadia ) diwilayah mayung , sanggah dadia yang dibuatnya yang menyungsuh hanya 1 kk dan terus berlanjut dan sampai sekarang 150kk, kemudian dari rapat para pengelingsir pelinggih yang ada di mayung akan di pindahkan  dusun desa pedawa, disebabkan karna krama  pura yang ada di mayung semakin banyak . maka dari itu  sanggah yang ada di mayung akan di pindahkan,semua karma sanggah akhirnya setuju akan tetapi ketika pembuatan sanggah,terjadi perselisihan antara salah satu orang yang di hormati disana, ini disebabkan karna orang ini yang memborong mengkorupsikan uang untuk membeli bahan-bahan bangunan sanggah. Dari situlah sebagian krama masih tinggal disana  dan tidak mau ikut memindahkan sanggah ke dusun desa. Warga yang tidak mau ikut sekitar 12 kk,selain itu yang mau pindah sekitar 150 kk. Setelah yang 150kk ini yang mau membuat sanggah letaknya di dusun desa, krama sanggah masah belum punya kawitan masih menganggap bahwa ada pura yang letaknya di menguwi tepatnya di uma abian  itu dikatakan sanggah kawitan,dan tempat pertirtaanya tempatnya di taman ayun. Pada tahun 1995 warga mulai di landa musibah di antaranya sakit gila, krama di bingungkan,krama bertengkar. Ketika di tanyakan kedukun, dikatakan bahwa belum punya kawitan, baru dari kena  musibah ini krama dadia mulai mencari kawitanya, untuk mencari pura kawitan ini melalui petunjuk dari pura puncak manik  yang ada di melanting dari sana disuruh ke kabupaten klungkung tepatnya didesa gelgel.krama mulai merembug dengan sesepuh dadia untuk mencarinya kesana. Krama dan sesepuh dadia setuju  untuk mencari kegelgel, sampainya  digelgel krama menanyakan ke pemangku disana bahwa dinama tempat pura dalem dasar gelgel.
            Kemudian pemangku disana menanyakan dari mana saudara dan tujuan ragane kesini, dari pertanyaan pemangku,  krama dadia krama dadia menjawab tiang saking pedawa  kec banjar kab buleleng. Tujuan tiang kesini tiang mencari pura kawitan titiang, karna dadia setiap ada orang sakit dan ditanyakan ke dukun  selalu di bilang belum punya kawitan, maka dari itu tiang di suruh kesini oleh pemangku di pura puncak manik  yang ada di melanting. Kemudian pemangku disana menyuruh bertemu dengan igusti agung yadnya di gianyar, pada saat itu kejadiannya aneh ketika disuruh menemui igusti agung yadnya  mendadak ada orang yang mau mengantar kerumah agung yadnya. Sampainya dirumah agung yadnya  krama mengatakan kepadanya  tentang musibah yang melanda dadia disana dan tiang suruh mencari kawitan di desa gelgel. Maka dari itu agung yadnya mengatakan kepada krama dadia, kawitan ragane mewaste sri kresna kepakisan. Tiang sudah diberikan petunjuk oleh beliau bahwa ada orang yang akan mencari kawitan. Agung yadnya mengajak ke pura kawitan sri kresna kepakisan  yang ada di br nyuhaya  desa gelgel.  Krama percaya dan yakin dari petunjuk dan cerita yang dikatakan  bahwa pura kawitannya ada disini, kemudian krama disuruh kembali lagi dan disuruh membawa banten, untuk nguningang bahwa krama tiang disini pura kawitanya. Inilah keturunan sri kresna kepakisan yang ada di desa pedawa.



                                   

















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Sanggah Merajan (Sanggah Dadia)
Sanggah Pamerajan berasal dari kata : Sanggah, artinya Sanggar, = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama,Pura Panti dan Pura Dadia pada dasarnya berada pada kelompok dan pengertian yang sama. Artinya apa yang dimaksud dengan Pura Panti dapat pula disebut dengan Pura Dadia. Sama halnnya dengan sebutan sanggah dapat pula disebut dengan istilah merajan. Yang membedakannya hanyalah terletak pada jumlah penyiwi atau pemujanya.Di dalam lontar sundarigama bahwa: Bhagawan Manohari, beliau beraliran Siwa mendapatkan tugas dari Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang. Setiap 40 pekarangan rumah(keluarga) disabdakan mendirikan panti, adapun setengah dari jumlah tersebut(20 keluarga) agar mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10 pekarangan keluarga mendirikan palinggih Pratiwi(Pertiwi) dan setiap keluarga mendirikan Palinggih Kamulan(sanggah/merajan).Diluar isi yang tersurat diatas tetapi masih termasuk dalam kelompok Pura Kawitan adalah Pedharman yang dipandang sebagai tempat pemujaan tertinggi untuk memuja leluhur. karena keturunan yang sekarang adalah keturunan yang kesekian puluh kalinya dari leluhur yang bersangkutan. Tentu berbeda jika bersembahyang di Pura Kawitan yang tergolong sanggah sampai Pura Panti masih dapat saling mengenal karena akan lebih mudah menemukan hubungan keluarga dalam susunan keluarganya. Dewasa ini banyak umat Hindu yang berusaha mencari jejak silsilah atau asal muasal leluhurnya sampai keberadaannya. Hal ini tentu sangat positif untuk menumbuhkembangkan ajaran Pitra Puja dimana kita diwajibkan untuk selalu bhakti/menghormati kepada para leluhur yang telah suci(Atma Sidha Dewata). Dalam lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain disebutkan: yan tan semangkana tan tutug pali-pali sang dewapitra manaken sira gawang tan molih ungguhan, tan hana pasenetanya. Artinya: bilamana belum dilaksanakan demikian(belum dibuatkan tempat suci) belumlah selesai upacara yang dewapitra(leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat tinggalnya. Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan : apan sang dewapitranya salawase tan hana jeneknya. Terjemahan: oleh karena sang dewapitra(leluhur) tidak ada tempat menetapnya, dapat dijelaskan bahwa upacara ngunggahang dewapitra(leluhur) adalah untuk menetapkan sementaradari dewapitra(leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis, bahwa dewapitra telah mempunyai sthana tempat yang setara dengan dewa.Lontar  nagarakrethagamaDisebutkan: ngka tang nusantarane Balya matemahan secara ring javabhumi, dharma mwang kramalawan kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah. Maksudnya: yang diterapkan di Bali persis mengikuti keadaan di Jawa terutama berkaitan dengan bentuk bangunan candi, pasraman dan pesanggrahan atau rumah. Yang disebut candi tidak lain adalah parahyangan untuk memuja leluhur. Didalam lontar ciwagama diuraikan tentang ketentuan mendirikan pelinggih(bangunan suci) yang disebut ibu dan panti. yang dimaksud dengan pelinggih didalam lontar ini adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah leluhur, di Bali ini disebut merajan/sanggah. Bagi masyarakat Hindu di Bali merajan tidak saja sebagai tempat memuja leluhur tapi juga sebagai tempat untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi dengan segala prabawaNya.

2.2  Adapun Pembagian Pelinggih Yang Ada Disanggah Dadia Sri Kresna Kepakisan Di Desa Pedawa:

2.2.1 Terdapapat di Nista Mandala.
1. Pelinggih Pecalang
Istilah pelinggih pecalang dalam Sastra Dresta disebut dengan penjaga atau pengaman disekitaran pelinggih .Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk pecalang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai  pengaman , sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih.Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh.Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan.Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. Pecalang  boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “depan ” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah dadia . Karena fungsinya sebagai pengaman , sebaiknya berada dekat pintu gerbang sanggah . Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Yang perlu diperhatikan, bangunan  pelinggih pecalang harus memenuhi syarat:

1). Pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah            “Angkara” dan “Ongkara”
2). Sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu:            merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus            kain putih merajah Ang-Ung-Mang
3). Di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah           pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah           padma dengan panca aksara diikat benang tridatu
4). Di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta           wangsuhpada Pura Kahyangan Tiga.
Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil.Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman krama sanggah  dan menolak bahaya sehingga terwujudlah krama sanggah yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. Adapun sarana banten yang di haturkan di pelinggih pecalang:banten ketipat gong yang diisi telur satu biji. Mantra (bahasa see) yang di gunakan yaitu sane ngilingang driki  tiang ngaturin tipat gong taluh abungkul.adapun ukuran dalam membuat pelinggih pecalang, panjang 60 cm dan lebar 40 cm.

2. Dapur/Pewaregan
Ini merupakan tempat menyalakan api ini tujuan pembuatanya agar ketika pada saat pelaksanaan persembahyangan mudah untuk mengambil api ketika melaksanakan upacara atau piodalan  yang mana misalkan memerlukan api pasepan untuk sarana upacara atau memasak air.

4. Gedong Simpen
Ini merupakan sebagai tempat penyimpanan sarana upacara atau penyimpanan wastra  pelinggih agar mudah mengambil ketika melakukan upacara. Ukuran membuat gedong simpen yaitu panjang 6 meter dan lebar 5 meter.

5. Balai Pesandekan
Bangunan-bangunan ini sebagai tempat krama sanggah untuk berkumpul bercengkram  sebelum  memulai persembahyangan  dan juga sebagai tempat krama sanggah melaksanakan sangkep ukuran bale pesadekan yaitu panjang 5 meter dan lebarr 3 meter.
2.2.2 Terdapat di Madya Mandala. 
1. Paibon
Merupakan pemujaan kepada leluhur merupakan kewajiban bagi umat hindu sebagai   pelaksanaan ajaran pitra yadnya dan erat kaitannya dengan adanya pitra rna. Secara fisik, terutama bagi umat hindu di bali dan sekarang sudah pula dibawa konsepnya di luar bali, wujud nyatu ditandai denga dari pitra puja itu pendirian sanggah/merajan. Merajan inilah yang berfungsi sebagai tempat suci memuja roh suci leluhur yang telah menjadi dewa pitara (sidha dewata) Menurut suratan lontar siwagama dengan tegas menyatakan bahwa setiap keluarga (hindu) dianjurkan untuk mendirikan sanggah kemulan sebagai perwujudan ajaran pitra yadnya yang berpangkal pada pitra rna, selanjutnya di dalam lontar purwa bhumi kemulan ditambahkan bahwa yang distanakan atau dipuja di sanggah kemulan itu tidak lain adalah dewa pitara atau roh suci leluhur. memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja dewa pitara. Hal ini tidak terlepas dari keunikan agama Hindu Bali yang mengkombinasikan filosofi keyakinan agama Hindu yang bersumber dari India dengan keyakinan/pemujaan terhadap leluhur dimana diyakini bahwa bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai alam dewata dan menjadi dewa/bhatara pitara. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari Dharma mereka selama hidup, namun umumnya sejelek apapun tingkah laku seseorang selama hidupnya, setelah meninggal maka merSelanjutnya mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai berikut: Palinggih Hyang Kompiang(paibon) merupakan fenomena baru dalam perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970, yaitu beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa Rudra (1963) di Pura Besakih. Pelinggih paibon ini di jadikan tempat untuk memanggil orang yang sudah sudah meninggal yang belum bersih, krama sanggah menyakini bahwa lewat di sanggah paibon gampang memanggil orang yang sudah meninggal. Yang di gunakan canang daksina baas pipis, sagi saji dapetan pengiring, soda, pemanisan, suci sari, banten sorohan, punjung kuning. Bahasa see yang di ucapkan pemangku dadia yaitu prekakan pretaksu sane ngiligang dewata dewati titiang ring paibon titiang  katurin canang daksina  baas pipis canang meraka sagi saji dapetan pengiring soda dan memanggil para dewata dewati. Ukuran pelinggih paibon yaitu panjang 90 cm dan lebar 40 cm.


2. Pelinggih Piasan
Pelinggih  piasan ini yang berdapingan pada paibon ini merupakan tempat berkumpulnya para leluhur yang belum bersih maupun sudah bersih untuk menyaksikan kegiatan upacara(piodalan) disanggah dadia, piasan ini sering dipakai tempat  banten canang daksina base baas pipis canang meraka. Ukuran pelinggih piasan panjang 70 cm dan lebar 45 cm.

3. Pengapit Lawang
yaitu dua pelinggih yang saling bersebelahan kanan dan kiri yang merupakan stana Bhatra kala dengan bhiseka jaga jaga yang bertugas sebagai pengaman disekitaran pura.pengapit lawang sebagai penjaga terhadap makhuk makhluk yang mengganggu krama dadia. Banten yang di gunakan, tipat gong taluh abungkul. Ucapan diapit lawang yaitu sane ngilingang driki ring apit lawang katurin pelawane apunggel  tipat gong taluh abungkul.ukuran  pengapit lawang 60 cm panjang  lebar 40 cm.   

4. Kori Paduraksa
Adalah gapura yang memiliki atap penutup yang menghubungkan kedua sisi bangunan pembatas. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa, meskipun pada masa sekarang banyak rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini. Paduraksa biasanya dilengkapi dengan pintu.fungsi dari candi paduraksan tujuannya adalah menutup indria yang ada pada diri manusia yang mana krama yang memiliki masalah agar tidak dibawa bawakan kepura sehingga dalam melakukan upacara agar tidak  terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.

5. Balai Pesadekan
Tempat ini bertujuan mempersatukan umat dan berkumpulnya krama yang mana ini sering di pakai oleh krama sebagai tempat banten yang belum bi bawa ke pelinggih. Ukuran  bala pesadekan panjang 5 meter dan lebar 3 meter.

2.2.3 Terdapat di Utama Mandala.
1.Pelinggih Padmasana
Merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung) simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal.  Tujuan pembuatan padmasana untuk menyinari umat dalam melakukan piodalan dan memberikan penerangan kepada umat. Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Dalam ajaran sekte yang ada dibali padamasamna termasuk sekte sora dan sekte siva. Banten yang di gunakan:canang daksina baas pipis canang meraka, banten surya . ucapan pemangkunya : ida bhatara sane patut surya sane patut ngilingang driki katurin canang daksina baas pipis canang meraka sumangde cokore dewa nyuryanin titiang. Ukuaran pelinggih surya panjang 90 cm dan lebar 75 cm.

2. Kemulan Rong Telu
Yaitu tempat  beristananya tri tiga saktiLinggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Rong Tiga dan Rong Kalih. Bagi arwah yang sudah masuk ke dalam Parama Siwa Tattwa maka beliau yang sudah bersthana di Ruang Tiga tidak lagi akan menitis atau menjadi bagian lagi dari keluarga asalnya. Sedangkan Beliau yang baru ditingkat Sada Siwa Tattwa apalagi Maya Siwa Tattwa beliaulah yang bersthana di palinggih Ruang Kalih. Beliau masih berkomunikasi dengan warga yang ditinggal, beliau masih bisa “turun” (ngidih nasi) di keluarga-keluarga asalnya.  Rog  telu Tidak ada efeknya antara ngeroras metak atau ngeroras di bale atau upacara nista, madya dan utama sendiri. Yang menentukan adalah karma wasananya. Apakah harus tinggal di Maya Siwa Tattwa atau bisa terbebas ke Parama Siwa Tattwa. Kita bisa menentukan apakah leluhur kita itu bisa “turun” (ngidih nasi) pada keluarga kita atau tidak. Kalau tidak, artinya beliau sudah bersthana di Rong Tiga sudah menyatu dengan Purana Siwa. Memang ada rontal Gong Wesi sebagai berikut:  Yang distanakan di kemulan untuk dipuja bukanlah Dewa tetapi Pitara yang telah mencapai alam Dewa, oleh karena itu disebut Dewa Pitara. Fungsi Merajan Kemulan sebagai tempat Sang Hyang Atma disebutkan dalam beberapa lontar sebagai berikut :
……. ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen Bapanta nga Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga …..
artinya:
……namanya beliau Sang Atma, pada Kemulan kanan sebagai Bapa adalah Paratma, pada Kemulan kiri sebagai ibu namanya Siwatma, pada Kemulan tengah wujudnya adalah sang atma, menjadi ibu bapa pada wujudnya Sanghyang Tunggal mempersatukan diri.
Penjelasan yang hampir sama disebutkan pada Lontar Usana Dewa sebagai berikut:
Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya:
Pada kemulan nama Beliau adalah Sang Hyang atma, di Kemulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berwujud Sang Hyang Tuduh.
            Suatu saat roh beliau menitis pada keluarga misan penulis. Tetapi umurnya hanya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah meninggal kemudian menitis lagi pada keluarga kakak kandung penulis. Juga umurnya tiga oton. Akhirnya menitis lagi pada keluarga penulis sendiri. Juga umurnya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah itu tidak pernah menitis lagi, pada waktu roh beliau menitis tiga kali roh beliau masih di Rong Kalih. Setelah itu roh beliau sudah melinggih di Rong Tiga. Sehingga tidak lagi menitis pada keluarga di dunia fana ini lagi. Jadi sekarang roh beliau yang sudah suci sekali sudah bersatu dengan Parama Siwa. Kalau Bangunan seperti ini merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka yang telah disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan yang memakai ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti yang terdiri dari tiga dewa, yakni Brahma, Wisnu, dan Iswara. Ketiga dewa ini merupakan perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa), yang masing-masing berfungsi sebagai dewa pencipta, pemelihara dan pemralina. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Pengaruh konsep Trimurti inilah menyebabkan bangunan rong telu berfungsi ganda. Pertama, untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, dan yang kedua untuk memuja Sang Hyang Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara . Banten yang ada di pelinggih rong telu:banten canang daksina baas pipis canang raka daksina, dan banten tri sakti. Ucapan mantra yang sering di ucapkan oleh pemangku disana yaitu ida bhatara kemulan rong telu katurin cang daksina baas pipis cang meraka sareng banten tri sakti. Ini inti yang sereing di ucapkan pemangku dadia karna bahasa dan ucapan mantra cumin bahasa se.  ukuran pelinggih rong telu panjangnya 90 cm lebar 50 cm.

3. Pelinggih Rabut Sedana (Dewa Ayu Manik Galih)
Mendirikan pelinggih ini karna didasari bahwa dewa ayu manik galih yang memberikan kehidupan amerta kepada umat sehingga untuk mengucapkan rasa terima kasih  umat kepada beliau umat mendirikan pelinggih rabut sedana, pelinggih rabut sedana ini berupa pelinggih rong dua, pembuatan pelinggih rabut sedana ini yang berisi rong ada dua yang satu sebagai tempat istana ida bhatara  rabut sedana dan sebelahnya sebagai tempat istananya ida bhatara manik galih.mendirikan pelinggih rabut sedana sebagai pengayatan pura rabut sedana yang ada di besakih. Adapun banten yang dihaturkan di pelinggih rabut sedana yaitu canang daksina baas pipis canang meraka, dan banten rabut sedana. Mantranya hampir sama dengan pelinggih yang lain. Ukuran pelinggihnya panjang 60cm dan lebar 45cm.

4. Pelinggih Pengempelan
Yaitu pelinggih yang tidak diketahui puranya yng mana pelinggih pengempelan  sering di bilang pelinggih yang di peteng, mendirikan pelinggih ini karna  ida bhatara yang ada di pengempelan yang sudah menyelamatkan keluarga sri kresna kepakisan yang ada di pedawa yang  selamat dari peperangan di kerajaannya. Untuk mengenang jasa beliau di buatkan pelinggih dan sekarang di sanggah dadia, pelinggih pengempelan di sanggah keluarga dadia ini menurut kepercayaan krama ketika ada piodalan di sanggah, ida bhatara penggempelan supaya ada tempat ( rumah)  di sanggah. Banten yang di haturkan di pelinggih pengempelan yaitu canang daksina baas pipis canang meraka daksina, dan banten penyangra sari. Mantra semua sama dengan pelinggih yang lain cuman pengucapanya banten beda sedikit, ukuran pelinggih pengempelan panjang 45cm lebar 40 cm.

5. Pelinggih Mayung
Dibuatkan pelinggih mayung ketika ada odalan di pura dadia ida bhatara mayung yang menghadiri supaya ada tempat karna ida bhatara mayung memberikan jasa kepada leluhur  sri kresna kepakisan  yang menerimanya pertama kali desa pedawa maka dari itu kesepakatan hasil paruman pengelinggsir harus di buatkan pelinggih mayung di sanggah dadia. Banten di pelinggih mayung yaitu canang daksina baas pipis canang meraka, banten taksu kuskus atingkeban ,tuak aren yang tempatnya sempilan, dan menggunakan biu kayu. Mantranya ini semua sama. Ukuran pelinggih panjang 45cm dan lebar 45cm.

6. Pelinggih Majapahit
Keturunan Arya berhak membuat pelinggih majapahit karna semua arya beraal dari keturunan majapahit, krama membuat pelinggih majapahit untuk mengenang jasa beliau yang  manjajah bali. Krama  tujuan pembuatan pelinggih majapahit agar ida bhatara maja pahit melindungi sentananya. Banten yang ada di pelinggih majahit  canang daksina baas pipis canang meraka, dan banten pengayata. Mantranya sama dengan pelinggih yang lain. Ukuran peliggih majapahit panjang 60cm dan lebar 45cm.

7. Pelinggih Kawitan
 Sama halnya dengan Pelinggih Meru pada umumnya , selalu ada dua fungsi Pelinggih Gedong yaitu sebagai Atma Pratista dan Dewa Pratista. Atma Pratista itu adalah sebagai media pemujaan Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Sedangkan sebagai Dewa Pratista adalah sebagai media untuk memuja Istadewata Ida Sang Hyang Widhi yang di sthanakan di Pura tersebut.  Karena itu pura di pedawa  umumnya selalu memiliki pelinggih Gedong untuk Atma Pratista atau memuja roh suci yang telah mencapai alam Dewa atau Sidha Dewata dan ada pelinggih untuk Dewa Pratista yaitu pelinggih untuk memuja Istadewata Ida Sang Hyang dan supaya ida bhatara kawitan yang menghadiri  ketika ada upacara( odalan) ada tempatnya,dan warga yng tidak bisa hadir setiap odalan di pura kawitan agar mudah ngayat  di sanggah dadia. Banten di pelinggih kawitan yaitu canang daksina baas pipis canang meraka  banten soda, dan banten rayunan. Matra yang di ucapkan ini hampir sama dengan pelinggih yang lainnya. Ukuran pelinggih  kawitan, panjangnya 65cm lebar 65 cm.

8. Pelinggih Taman Ayu ( Meru Tumpang Tiga)
Pelinggih taman ayun yang menggunakan meru tumpamg tiga, salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara-bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dari meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai sthana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
Meru, didasarkan kepada kutipan yang tercantum pada lontar-lontar warisan leluhur seperti Lontar Andha Bhunana, mengandung makna simbolis atau filsafat sebagai berikut:
“Matang nyan meru mateges, me, ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa; muah ru, ngaran guru, ngaran bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak. Meru ngaran pratiwimbha andha bhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung alit”.
Artinya :
"Oleh karena itu meru berasal dari kata me, berarti meme = ibu = pradana tattwa, sedangkan ru berarti guru = bapak = purusa tattwa, sehingga meru berarti batur kelawasan petak (cikal bakal leluhur). Meru berarti lambang atau simbol alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung dan bhuana alit".
Jadi, berdasarkan keterangan dalam Lontar Andha Bhuana tersebut, meru memiliki dua makna simbolis yaitu meru sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta. pembuatan pelinggih taman ayun karna keturunan dari menguwi  harus membuat pelinggih taman ayun, karna menurut sejarah yang mana raja dari menguwi telah membunuh pasek badak, dan ada pesan sebelum pasek badak di bunuh agar keturunan dari menguwi menyungsung dia di buatkan pelinggih.kanapa haris membuat pelinggih meru tumpang tiga, ini karna kena bisama pedawa yang mana semua dadia yang tinggal di pedawa harus membuat meru tumpang tiga dan tidak boleh lebih dari tiga. jika lebih dari tiga takut ngungkulin pelinggih yang ada di pedawa yang di percaya di sana sebagai dangkahyangan. pembuatan  pelinggih taman ayun yang berupa meru tumpang tiga Bangunan itu adalah simbol ‘Ongkara’ karena simbol Ongkara sebagai Sanghyang Widhi mempunyai kemahakuasaan:
1). Sebagai angka 3 (dalam aksara Bali), di mana 3 adalah: uttpti (kelahiran), stiti       (kehidupan), dan pralina (kematian/ akhir)
2). Ditambahkan: ardha candra (simbol bulan = satyam), windhu (simbol matahari =       rajas), dan nada (simbol bintang = tamas)
      3). Digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi.
Adapun bantennya canang daksina baas pipis  canang meraka, dan ajuman. Ukuran pelinggih panjang 55cm dan lebar 55cm.

9. Pelinggih Uma Abian (Meru Tumpang Dua)
             Angka 2 digunakan karena di samping merupakan bilangan prima yang sakral, juga sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar Bhuwana-Kosa). Aksara suci-Nya: Ang, Ah Berdasarkan Lontar Sanghyang Aji Swamandala, meru ini ditujukan untuk stana Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Arda Nareswari (rwa bhineda), pencipta segala sesuatu yang berlawanan di dunia: laki-perempuan, malam-siang, dharma-adharma,  pembuatan pelinggih uma abian sebagai pengayatan ida batara yang da di uma abian yang memberikan jalan untuk mencari kawitan. Maka dari itu di buatkan pelinggih sebagai rasa terima kasih. Adapun banten nya canang daksina baas pipis canang meraka, banten ajengan yang di isi ayam panggang. Ukuran pelinggih panjang 50cm lebar 50 cm.

10. Pelinggih Taksu
Kata ”Taksu” berasal dari kata ”aksi” artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah menyebabkan orang disebut Metaksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisa oleh pandangan pikiran yang cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi. Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang “Metaksu”.
Bangunan ini berbentuk Tugu sebagai sthana Sang Kala Raja, yaitu lambang sumber energi atau kekuatan “Taksu” Pelinggih Taksu ini sebagai pelinggih untuk memohon kehadapan Ida Bhatara Kawitan agar dianugerahi kekuatan spiritual untuk memelihara semangat hidup atau “Metaksu”. Banten  di pelinggih taksu yipat bekel  mekakak siap, tuak yang menggunakan sempilan. Ukuaran pelinggih panjang 45cm dan lebar 45cm.

11. Piasan Agung
 Bale Piasan ini adalah tempat “ngias” Ida Bhatara Sinamian pada waktu ada kegiatan Upacara atau Karya Pelinggih Pesamuhan, ada juga yang menyebut Pengaruman  adalah tempat Ida Bhatara-Bhatari “Samuha atau Parum” yang disimbulkan dengan wujud “Ardha Nareswari” Purusa-Pradhana atau yang dikenal dengan Rambut Sedana dan juga berfungsi sebagai tempat menghaturkan bhakti persembahan (ayaban Ida Bhatara) dan merupakan tempat  rapatnya ida bhatara  sebelum memuali odalan.bantennya  cang daksina baas pipis canang meraka,pengualapan sari, suci sari. Ukuran pelinggih panjang  120cm dan lebar 80 cm .




2.3 Lampiran-Lampiran

2.3.1 Pelinggih Pecalang


2.3.2 Gedong Simpen


2.3.3 Balai Pesandekan


2.3.4 Paibon



2.3.5 Pelinggih Piasan


2.3.6 Pengapit Lawang dan Kori Paduraksa


2.3.7 Pelinggih Padmasana, Kemulan Rong Telu, dan Pelinggih Rambut Sedana


2.3.8 Pelinggih Pengempelan dan Pelinggih Mayung

2.3.9 Pelinggih Majapahit dan Pelinggih Kawitan


2.3.10 Pelinggih Taman Ayun, Pelinggih Uma Abian dan Pelinggih Taksu


2.3.11 Piasan Agung


2.3.12 Foto Wawancara dengan Mangku Dadia




















BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Ketika  terjadi peperangan di keraajan mengwi  yang  tidak bisa di redakan, salah satu dari patih dari krajaan yang bernama gusti ngurah pergi meninggalkan kerjaan  dan melarikan anak dari raja menguwi, ketika ini di ketahui oleh sang raja,  raja memerintahkan patih dan para prajurit, untuk mencari igusti ngurah, raja menyuruh patih jika sudah menemukan Igusti ngurah agar membunuhnya.ini disebabkan karna sudah melarikan anak dari raja menguwi. Igusti ngurah mengetahuinya perkataan sang raja, igusti ngurah merasa bersalah dan takut dibunuh. Lalu ia melakukan perjalana  tanpa tahu ia dimana arah dan tujuan bersama istrinya. .Gusti ngurah terus dia berjalan melewati dasa petang yang sekarang ini ,dan sampainya dia di puncak manggu  dia beristirahat bersama  istrinya
Sanggah Pamerajan berasal dari kata : Sanggah, artinya Sanggar, = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama,Pura Panti dan Pura Dadia pada dasarnya berada pada kelompok dan pengertian yang sama. Artinya apa yang dimaksud dengan Pura Panti dapat pula disebut dengan Pura Dadia. Sama halnnya dengan sebutan sanggah dapat pula disebut dengan istilah merajan. Yang membedakannya hanyalah terletak pada jumlah penyiwi atau pemujanya.Di dalam lontar sundarigama bahwa: Bhagawan Manohari, beliau beraliran Siwa mendapatkan tugas dari Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang. Setiap 40 pekarangan rumah(keluarga) disabdakan mendirikan panti, adapun setengah dari jumlah tersebut(20 keluarga) agar mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10 pekarangan keluarga mendirikan palinggih Pratiwi(Pertiwi) dan setiap keluarga mendirikan Palinggih Kamulan(sanggah/merajan).Diluar isi yang tersurat diatas tetapi masih termasuk dalam kelompok Pura Kawitan adalah Pedharman yang dipandang sebagai tempat pemujaan tertinggi untuk memuja leluhur. karena keturunan yang sekarang adalah keturunan yang kesekian puluh kalinya dari leluhur yang bersangkutan.



DAFTAR PUSTAKA



Terjemahan Lontar “Andha Bhuana” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Usana Dewa” Arsi Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Gong Besi” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Widhi Papinlata” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Dewa Tattwa” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Kala Tattwa” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Nagarakrethagama” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Terjemahan Lontar “Purwa Bhumi Kemulan” Arsip Gedong Kertiya Singaraja.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Siva Siddhanta II. Singaraja: IHDN Denpasar. 

3 komentar:

  1. Sangat bermanfaat sebagai acuan keluarga baru, yang mendirikan rumah diluar/terpisah dari pekarangan tua artinya terpisah dari orang tua dan saudaranya.

    BalasHapus
  2. Sangat bermanfaat untuk keluarga baru yang membuat rumah baru terpisah/jauh dari rumah induk, karena kebanyakan yang saya tahu di Bali hanya membuat 1 pelinggih yaitu padmasari.

    BalasHapus
  3. Best Casinos Near St. Louis by Marriott Hotels & Resorts
    The best casinos in St. Louis 춘천 출장마사지 by Marriott hotels & resorts, with 오산 출장샵 recommendations for 경상북도 출장샵 hotels, motels, restaurants, and 용인 출장안마 shopping. 남양주 출장샵

    BalasHapus