Jumat, 24 Januari 2014




1
BERYADNYA DALAM KONTEKS CATUR ASRAMA
Ni
Kadek Putri Noviasih, S.Sos.H
Secara umum yadnya diartikan sebagai
korban suci atau
pengorbanan yang
dilakukan secara tulus
ikhlas tanpa pamrih atau la
scarya. Apapun bentuk pengorbanan
itu, itulah yadnya. Pengertian ini begitu luas dan memang sejalan dengan yadn
ya itu
yang juga begitu luas.
Pemahaman yang berkembang sela
ma ini tentang yadnya adalah untuk
menyatakan berbagai bentuk ritual. Bila ada yang melaksanakan upacara perkawinan,
dikatakan sedang me
-
yadnya. Bila ada yang melaksanakan piodalan dikatakan sedang
melaksanakan yadnya.
Bila ada yang melaksanakan upacara Ng
aben juga disebut
beryadnya.
Pemahaman itu
tidak salah dan memang begitu.
Hanya perlu digarisbawahi
atau dipahami
bahwa pemahaman
seperti
itu
sesungguhnya
telah
mengalami
penyempitan makna.
Sesungguhnya
makna yadnya itu demikian luas.
Karena bahkan
cinta kasih Sang
Hyang Widhi dalam menciptakan alam semesta ini dikatakan sebagai yadnya, seperti
disebutkan dalam Yajur Weda mantram XXIII.62
Ayam yajno bhuvanasya nabhih
,
yadnya
adalah pusat terciptanya
alam semesta.
Kemudian pada Atharwa Weda yadnya
dikatakan sebagai salah satu unsur kekuatan yang menyan
g
ga bumi, yakni mantram
XX.1.1:
Satyam brhta rtam ugram diksa tapo, brahma yajna prhtivimdharayanti
,
kebenaran, hukum abadi yan
g agung, penyucian, pengendalian diri,
dan yadnya, in
ilah
yang menyangga bumi ini.
Masih banyak lagi mantram
-
mantram di dalam
Catur
Weda yang menjelaskan
keuniversalan dan keluasan makna yadnya. Demikian pula dalam pancamo Weda
(Bhagawadgita), tak kalah b
anyaknya sloka yang menyiratkan bahwa yadnya itu begitu
luas. Sudah saatnya kita menggali semua makna itu disertai harapan secara perlahan
-
lahan kita coba aplikasikan. Hal inilah yang akan kita coba bahas saat ini. Kita mencoba
menggali ajaran ag
ama kita y
ang juga maha luas.
Hindu mengenal adanya
lima macam y
adnya yang disebut Panca Yadnya
:
(1)
Dewa Yadnya; persembahan/korban suci kepada Tuhan dan manifestasinya
termasuk para dewa
(2)
Pitra Yadnya;
persembahan kepada orangtua dan para leluhur
(3)
Rsi Yadnya; persembahan kepada para guru suci/spiritual
(4)
Manusa Yadnya; persembahan kepada manusia atau yang bertujuan untuk
kesejahteraan manusia
(5)
Bhuta Yadnya; persembahan kepada para bhuta (makhluk/kekuatan
alam
negatif) di luar manusia
2
Catur Asrama terdiri dari dua kata, yaitu Catur dan Asrama. Catur artinya empat,
dan Asrama artinya jenjang atau tingkatan/tahapan. Jadi Catur Asrama artinya empat
jenjang at
au tahapan dalam kehidupan manusia.
Empat jenjang ini yaitu: Brahmacari,
Grehasta, Wanaprastha, dan Bhiksuka/Sanyasin.
a.
Brahmacari berasal dari kata Brahma dan Acarya. Brahma yaitu Tuhan dan
Acarya artinya berg
uru. Sehingga Brahmacari adalah masa belajar atau
menuntut ilmu pengetahuan.
b.
Grehasta artinya masa berumah tangga atau membangun dan membina rumah
tangga.
c.
Wanaprastha yaitu masa pengasingan di tengah hutan tujuannya untuk
melepaskan diri dari keterikatan
duniawi. Namun pada jaman sekarang
hampir tidak ada yang melaksanakan Wanaprastha secara harfiah. Dalam
perkembangan jaman saat ini, Wanaprastha diartikan sebagai upaya
-
upaya
pengendalian diri terhadap keduniawian, mulai melaksanakan perenungan
diri, dan l
ebih banyak melakukan kegiatan spiritual.
d.
Bhiksuka atau Sanyasin yaitu masa di mana manusia benar
-
benar lepas dari
keterikatan duniawi. Manusia dianjurkan untuk hidup layaknya pendeta atau
pertapa, tidak lagi bekerja untuk mencari nafkah tetapi untuk menye
barkan
ajaran
-
ajaran suci.
Brahmacari adalah tahap pertama dalam ajaran catur asrama. Pada tahap ini kita
semua sedang mencari
ilmu, aguron
-
guron, berguru.
Pada tahap ini yadnya apa yang
bisa
dilakukan? Bila dihubungkan dengan panca yadnya, apa yang bisa dilakukan? Pada
masa brahmacari ini tugas pokok kita adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas
tentunya, yakni belajar dalam penger
tian bukan hanya membaca buku.
Pokoknya apa
saja yan
g bisa dikorbankan secara tulus dan ikhlas, korbankanlah. Termasuk perasaan,
sekali
-
kali dikorbankan jika dimarahi guru atau orang tua. Guru dan orang tua, jika
memarahi pasti demi kebaikan anak. Tidak ada orang tua atau guru yang
memarahi
murid tanpa alas
an.
Waktu
dan tenaga hendaknya
digunakan dengan sebaik
-
baiknya.
Hendaknya seorang siswa secara tulus menggunakan waktu dan tenaganya untuk
belajar, secara tulus melakukan sembahyang
baik
di rumah, di pura,
atau
di pasraman.
Inilah wujud Dewa Yadnya.
Berbakti dan hormat
serta rajin membantu
orang tua
dan
melaksanakan ajaran
-
ajarannya sebagai bentuk pelaksanaan Pitra Yadnya.
Bentuk
Manusa Yadnya misalnya menghormati dan menghargai guru serta teman
-
teman, punya
rasa simpati dan belas kasih terhadap orang
yang sedang kesusahan, dan sebagainya.
Yang terakhir
turut memelihara kebersihan dan lingkungan sebagai wujud Bhuta
Yadnya.
Misalnya ikut kerja bakti, ngayah membersihkan tempat suci, dan tidak
membuang sampah sembarangan.
3
Masa
Grehasta
dianggap sebagai masa yang paling kompleks. Kompleks
permasalahannya, kompleks tanggung jawabnya
, kompleks juga kewajibannya.
Mengapa demikian? Ya, k
arena pada masa
Gre
hasta
, seseorang sudah harus mengurus
orang lain,
dalam arti orang selain dirinya sendiri. Orang lain itu adalah
pasangan
hidupnya (suami/istri, dan
anak
)
.
Pada masa ini seseorang sudah dituntut untuk bermasyarakat. Jadi tanggung
jawabnya sudah multiarah (vertikal dan horizontal).
Bagi kita umat Hindu ta
nggung
jawab yadnya masa
Grhasta
meliputi kelima yadnya
(Panca Yadnya)
yang
dipersyaratkan
baik secara
sekala
dan
niskala
.
Secara Sekala tentu berbentuk tindakan
-
tindakan nyata misalnya mendirikan
atau membersihkan
tempat suci
, sedangkan wujud
niskalanya a
dalah sembahyang atau mebanten.
Dalam Pitra Yadnya bentuk sekala
mungkin dengan menghormati dan berbakti kepada orangtua (kandung/mertua), dan
wujud niskala dengan melaksanakan upacara ngaben/ngeroras/nyekah.
Manusa yadnya
bisa dilakukan dengan memberikan
sedekah kepada
orang yang tidak mampu
, atau
membantu yang kekurangan dan kesusahan. Sedangkan secara niskala tentu dengan
rangkaian upacara manusa
yadnya, yaitu sejak bayi masih dalam kandungan dan
seterusnya. Demikian pula dengan Bhuta Yadnya, tidak hanya dalam bentuk upacara
masegeh, mecaru, tawur dan sejenisnya. Namun bagaimana kita menjaga dan
melestarikan lingkungan dan alam. Apakah dengan
menja
ga menanamkan dalam
keluarga akan pentingnya kebersihan lingkungan dan sebagainya.
Yadnya yang vertikal ditekankan pada
yadnya
kepada Sang HyangWidhi
atau
Dewa Yadnya.
Sepenuh
jiwa kita berpasrah
diri
saat se
mbahyang di Pura, dan juga pada
saat
mempersiapkan
berbagai sarana upakara
yang akan digunakan beryadnya.
Yadnya
vertikal menyangkut hubungan secara individual dengan Tuhan. Apa yang terbaik yang
bisa dipersembahkan atau dikorbankan kepada Tuhan oleh seseo
rang, itulah yadnya
vertikal.
Sebagaimana Hindu yang menekankan rasa dalam aktifitas keberagamaannya,
pun juga penganutnya yang selalu berusaha mempersembahkan yang terbaik dan
berlandaskan rasa tulus hati, rasa syukur, penuh rasa keikhlasan.
Makna yadnya
vertikal ini juga
bisa diterjemahkan secara khusus dengan istilah
Ngayah.
Prosesi
ngayah
ini menerjemahkan makna yadnya secara khas. Kita sudah
memaknainya dalam praktik, bahwa dalam ngayah kita sudah beryadnya tanpa ada
kepentingan apa pun, kecuali mewuju
dkan rasa bhakti kita kepada Sang Hyang Widhi.
Dalam yadnya dan dalam
ngayah
kita tak pernah berpamrih apa
-
apa. Kita hanya
berbuat, berbuat. dan berbuat secara bersam
-
sama. Saling mengisi, saling memberi,
saling mengajari dalam pembuatan s
a
rana upakara. Se
mua itu dilakukan secara
lascarya
dan setulus
-
tulusnya. Tidak ada di antara kita yang b
erharap balasan dalam
ngayah
.
4
Dalam pengert
ian horizontal, yadnya di titik
beratkan
kepada orang
-
orang terkasih
d
i sekitar kita, yakni
istri/suami dan anak
yang mesti kita beri perhatian dan
pengorbanan secara penuh ketulusan
.
Ketika anak
-
anak baru lahir, orang tua wajib
melaksanakan upacara Manusa Yadnya sampai si anak beranjak dewasa. Sedangkan
secara material atau
nyata (
sekala
), orangtua berkewajiban membiayai segala kebutuhan
anak baik fisik, pendidikan dan spiritual.
Pernahkah kita berharap suatu balasan terhadap perbuatan kita membiayai anak?
Tentu tidak, sekali lagi tidak. Kita melakukannya dengan sepenuh hati
tanpa berharap
apapun bagi diri sendiri.
Sekalipun
kita berharap
pastilah
ingin melihat mereka tumbuh
dengan baik, berkem
bang menjadi anak yang suputra, karena
suputra bisa
menyeberangkan orang tuanya dan neraka ke sorga. Perlu diingat bahw
a
suputra tidak
mengacu pada anak laki
-
laki saja. Semua anak yang dilahirkan,
baik
laki
-
laki maupun
perempuan, jika dia berkemban
g sesuai dharma dialah
Suputra
.
Dengan adanya anak
yang
Suputra
inilah yang menyebabkan siklus Pitra Yadnya
dan Manusa Yanya
dapat
berkesinamb
ungan.
Sedangkan menyangkut hubungan dengan orang lain, tentu juga harus senantiasa
dijaga. Baik itu hubungan dengan keluarga besar sanak famili, rekan kerja, maupun
tetangga di lingkungan sekitar kita termasuk dengan sesama
Krama Banjar
. Ini
juga
perlu
d
ilakukan sebagai wujud nyata pelaksanaan Manusa Yadnya.
Tahapan Wanaprastha dan Bhiksuka sendiri
umumnya
sangat jarang dilakukan
oleh orang awam. Hanya mereka
yang benar
-
benar sanggup dan mampu mengendalikan
keterikatan duniawi
-
lah yang bisa menjalani tahap ini. Kita bisa ambil contoh seorang
Sulinggih
(
Pedanda/Pandita
). Keseharian mereka selalu diisi dengan kegiatan
-
kegiatan
spiritual, untuk mendekatkan diri de
ngan Tuhan. Mereka punya kewajiban
menghantarkan jalannya suatu upacara dimanapun dan kapanpun dibutuhkan umat,
tanpa meminta upah atau imbalan
atas jasa
-
jasa mereka
.
Inilah Karma yang
tulus dan
utama
.
Kesimpulannya
,
pada setiap tahapan hidup kita wajib m
elaksanakan yadnya
.
Untuk
Brahmacari Asrama,
Bhagawan Wararuci dalam Kitab Sara
samuccaya sloka 27
mengajari kita memanfaatkan masa muda dengan sebaik
-
baiknya, yang beliau
umpamakan seperti rumput ilalang yang masih muda.
Seperti kita tahu, ujung ilalang
yang masih muda itu amat tajam. Maksudnya adalah
bahwa
ketika masih
muda pikiran
masih sangat tajam
atau cerdas
, hendaknya digunakan untu
k menuntut dharma
dan ilmu
pengetahuan. Dengan tajamnya pikiran seorang anak juga bisa me
-
yadnya
-
k
an tenaga
dan pikirannya itu, mengukir prestasi, membanggakan orangtua, serta mengharumkan
nama bangsa
.
5
Untuk Grehasta Asrama,
Kitab Nitisastra tampaknya bisa dijadikan pedoman.
Menurut
ajaran Agama Hindu salah satu tujuan perkawinan atau Grehasta adalah
memperoleh anak yang suputra. Dalam Kitab
Nitisastra
dijelaskan
:
Orang yang mampu membuat seratus su
mur masih kalah keutamaannya
dibandingkan orang yang mampu membuat satu waduk. Orang yang mampu membuat
seratus waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat
satu yadnya secara lascarya
/tulus ikhlas
. Dan orang yang mampu membuat ser
atus
yadnya masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu melah
irkan seorang anak
yang suputra”.
Sedangkan untuk Wanaprastha dan Bhiksuka, dalam Bhagawadgita Adyay
a
II
Sloka
47
“Karmany Ewadhikaras Te Ma Phalasu Kadaçana, Ma Karma Phala Hetur
Bhurma, Te Sango ‘Stwa Akarmani”
artinya:
bahwa
hanya
dengan
berbuat dan berbuat
yang menjadi kewajiban kita,
dan
bukan hasil da
ri perbuatan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar