BERYADNYA
DALAM KONTEKS CATUR ASRAMA
Ni
Kadek Putri
Noviasih, S.Sos.H
Secara umum
yadnya diartikan sebagai
korban suci
atau
pengorbanan
yang
dilakukan
secara tulus
ikhlas tanpa
pamrih atau la
scarya. Apapun
bentuk pengorbanan
itu, itulah
yadnya. Pengertian ini begitu luas dan memang sejalan dengan yadn
ya itu
yang juga
begitu luas.
Pemahaman yang
berkembang sela
ma ini tentang
yadnya adalah untuk
menyatakan
berbagai bentuk ritual. Bila ada yang melaksanakan upacara perkawinan,
dikatakan
sedang me
-
yadnya. Bila
ada yang melaksanakan piodalan dikatakan sedang
melaksanakan
yadnya.
Bila ada yang
melaksanakan upacara Ng
aben juga
disebut
beryadnya.
Pemahaman itu
tidak salah dan
memang begitu.
Hanya perlu
digarisbawahi
atau dipahami
bahwa pemahaman
seperti
itu
sesungguhnya
telah
mengalami
penyempitan
makna.
Sesungguhnya
makna yadnya
itu demikian luas.
Karena bahkan
cinta kasih
Sang
Hyang Widhi
dalam menciptakan alam semesta ini dikatakan sebagai yadnya, seperti
disebutkan
dalam Yajur Weda mantram XXIII.62
Ayam yajno
bhuvanasya nabhih
,
yadnya
adalah pusat
terciptanya
alam semesta.
Kemudian pada
Atharwa Weda yadnya
dikatakan
sebagai salah satu unsur kekuatan yang menyan
g
ga bumi, yakni
mantram
XX.1.1:
Satyam brhta
rtam ugram diksa tapo, brahma yajna prhtivimdharayanti
,
kebenaran,
hukum abadi yan
g agung,
penyucian, pengendalian diri,
dan yadnya, in
ilah
yang menyangga
bumi ini.
Masih banyak
lagi mantram
-
mantram di
dalam
Catur
Weda yang
menjelaskan
keuniversalan
dan keluasan makna yadnya. Demikian pula dalam pancamo Weda
(Bhagawadgita),
tak kalah b
anyaknya sloka
yang menyiratkan bahwa yadnya itu begitu
luas. Sudah
saatnya kita menggali semua makna itu disertai harapan secara perlahan
-
lahan kita coba
aplikasikan. Hal inilah yang akan kita coba bahas saat ini. Kita mencoba
menggali ajaran
ag
ama kita y
ang juga maha
luas.
Hindu mengenal
adanya
lima macam y
adnya yang
disebut Panca Yadnya
:
(1)
Dewa Yadnya;
persembahan/korban suci kepada Tuhan dan manifestasinya
termasuk para
dewa
(2)
Pitra Yadnya;
persembahan
kepada orangtua dan para leluhur
(3)
Rsi Yadnya;
persembahan kepada para guru suci/spiritual
(4)
Manusa Yadnya;
persembahan kepada manusia atau yang bertujuan untuk
kesejahteraan
manusia
(5)
Bhuta Yadnya;
persembahan kepada para bhuta (makhluk/kekuatan
alam
negatif) di
luar manusia
Catur Asrama
terdiri dari dua kata, yaitu Catur dan Asrama. Catur artinya empat,
dan Asrama
artinya jenjang atau tingkatan/tahapan. Jadi Catur Asrama artinya empat
jenjang at
au tahapan
dalam kehidupan manusia.
Empat jenjang
ini yaitu: Brahmacari,
Grehasta,
Wanaprastha, dan Bhiksuka/Sanyasin.
a.
Brahmacari
berasal dari kata Brahma dan Acarya. Brahma yaitu Tuhan dan
Acarya artinya
berg
uru. Sehingga
Brahmacari adalah masa belajar atau
menuntut ilmu
pengetahuan.
b.
Grehasta
artinya masa berumah tangga atau membangun dan membina rumah
tangga.
c.
Wanaprastha
yaitu masa pengasingan di tengah hutan tujuannya untuk
melepaskan diri
dari keterikatan
duniawi. Namun
pada jaman sekarang
hampir tidak
ada yang melaksanakan Wanaprastha secara harfiah. Dalam
perkembangan
jaman saat ini, Wanaprastha diartikan sebagai upaya
-
upaya
pengendalian
diri terhadap keduniawian, mulai melaksanakan perenungan
diri, dan l
ebih banyak
melakukan kegiatan spiritual.
d.
Bhiksuka atau
Sanyasin yaitu masa di mana manusia benar
-
benar lepas
dari
keterikatan
duniawi. Manusia dianjurkan untuk hidup layaknya pendeta atau
pertapa, tidak
lagi bekerja untuk mencari nafkah tetapi untuk menye
barkan
ajaran
-
ajaran suci.
Brahmacari
adalah tahap pertama dalam ajaran catur asrama. Pada tahap ini kita
semua sedang
mencari
ilmu, aguron
-
guron, berguru.
Pada tahap ini
yadnya apa yang
bisa
dilakukan? Bila
dihubungkan dengan panca yadnya, apa yang bisa dilakukan? Pada
masa brahmacari
ini tugas pokok kita adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas
tentunya, yakni
belajar dalam penger
tian bukan
hanya membaca buku.
Pokoknya apa
saja yan
g bisa
dikorbankan secara tulus dan ikhlas, korbankanlah. Termasuk perasaan,
sekali
-
kali
dikorbankan jika dimarahi guru atau orang tua. Guru dan orang tua, jika
memarahi pasti
demi kebaikan anak. Tidak ada orang tua atau guru yang
memarahi
murid tanpa
alas
an.
Waktu
dan tenaga
hendaknya
digunakan
dengan sebaik
-
baiknya.
Hendaknya
seorang siswa secara tulus menggunakan waktu dan tenaganya untuk
belajar, secara
tulus melakukan sembahyang
baik
di rumah, di
pura,
atau
di pasraman.
Inilah wujud
Dewa Yadnya.
Berbakti dan
hormat
serta rajin
membantu
orang tua
dan
melaksanakan
ajaran
-
ajarannya
sebagai bentuk pelaksanaan Pitra Yadnya.
Bentuk
Manusa Yadnya
misalnya menghormati dan menghargai guru serta teman
-
teman, punya
rasa simpati
dan belas kasih terhadap orang
yang sedang
kesusahan, dan sebagainya.
Yang terakhir
turut
memelihara kebersihan dan lingkungan sebagai wujud Bhuta
Yadnya.
Misalnya ikut
kerja bakti, ngayah membersihkan tempat suci, dan tidak
membuang sampah
sembarangan.
Masa
Grehasta
dianggap
sebagai masa yang paling kompleks. Kompleks
permasalahannya,
kompleks tanggung jawabnya
, kompleks juga
kewajibannya.
Mengapa
demikian? Ya, k
arena pada masa
Gre
hasta
, seseorang
sudah harus mengurus
orang lain,
dalam arti
orang selain dirinya sendiri. Orang lain itu adalah
pasangan
hidupnya
(suami/istri, dan
anak
)
.
Pada masa ini
seseorang sudah dituntut untuk bermasyarakat. Jadi tanggung
jawabnya sudah
multiarah (vertikal dan horizontal).
Bagi kita umat
Hindu ta
nggung
jawab yadnya
masa
Grhasta
meliputi kelima
yadnya
(Panca Yadnya)
yang
dipersyaratkan
baik secara
sekala
dan
niskala
.
Secara Sekala
tentu berbentuk tindakan
-
tindakan nyata
misalnya mendirikan
atau
membersihkan
tempat suci
, sedangkan
wujud
niskalanya a
dalah
sembahyang atau mebanten.
Dalam Pitra
Yadnya bentuk sekala
mungkin dengan
menghormati dan berbakti kepada orangtua (kandung/mertua), dan
wujud niskala
dengan melaksanakan upacara ngaben/ngeroras/nyekah.
Manusa yadnya
bisa dilakukan
dengan memberikan
sedekah kepada
orang yang
tidak mampu
, atau
membantu yang
kekurangan dan kesusahan. Sedangkan secara niskala tentu dengan
rangkaian
upacara manusa
yadnya, yaitu
sejak bayi masih dalam kandungan dan
seterusnya.
Demikian pula dengan Bhuta Yadnya, tidak hanya dalam bentuk upacara
masegeh,
mecaru, tawur dan sejenisnya. Namun bagaimana kita menjaga dan
melestarikan
lingkungan dan alam. Apakah dengan
menja
ga menanamkan
dalam
keluarga akan
pentingnya kebersihan lingkungan dan sebagainya.
Yadnya yang
vertikal ditekankan pada
yadnya
kepada Sang
HyangWidhi
atau
Dewa Yadnya.
Sepenuh
jiwa kita
berpasrah
diri
saat se
mbahyang di
Pura, dan juga pada
saat
mempersiapkan
berbagai sarana
upakara
yang akan
digunakan beryadnya.
Yadnya
vertikal
menyangkut hubungan secara individual dengan Tuhan. Apa yang terbaik yang
bisa
dipersembahkan atau dikorbankan kepada Tuhan oleh seseo
rang, itulah
yadnya
vertikal.
Sebagaimana
Hindu yang menekankan rasa dalam aktifitas keberagamaannya,
pun juga
penganutnya yang selalu berusaha mempersembahkan yang terbaik dan
berlandaskan
rasa tulus hati, rasa syukur, penuh rasa keikhlasan.
Makna yadnya
vertikal ini
juga
bisa diterjemahkan
secara khusus dengan istilah
Ngayah.
Prosesi
ngayah
ini
menerjemahkan makna yadnya secara khas. Kita sudah
memaknainya
dalam praktik, bahwa dalam ngayah kita sudah beryadnya tanpa ada
kepentingan apa
pun, kecuali mewuju
dkan rasa
bhakti kita kepada Sang Hyang Widhi.
Dalam yadnya
dan dalam
ngayah
kita tak pernah
berpamrih apa
-
apa. Kita hanya
berbuat,
berbuat. dan berbuat secara bersam
-
sama. Saling
mengisi, saling memberi,
saling
mengajari dalam pembuatan s
a
rana upakara.
Se
mua itu
dilakukan secara
lascarya
dan setulus
-
tulusnya. Tidak
ada di antara kita yang b
erharap balasan
dalam
ngayah
.
Dalam pengert
ian horizontal,
yadnya di titik
beratkan
kepada orang
-
orang terkasih
d
i sekitar kita,
yakni
istri/suami dan
anak
yang mesti kita
beri perhatian dan
pengorbanan
secara penuh ketulusan
.
Ketika anak
-
anak baru
lahir, orang tua wajib
melaksanakan
upacara Manusa Yadnya sampai si anak beranjak dewasa. Sedangkan
secara material
atau
nyata (
sekala
), orangtua
berkewajiban membiayai segala kebutuhan
anak baik
fisik, pendidikan dan spiritual.
Pernahkah kita
berharap suatu balasan terhadap perbuatan kita membiayai anak?
Tentu tidak,
sekali lagi tidak. Kita melakukannya dengan sepenuh hati
tanpa berharap
apapun bagi
diri sendiri.
Sekalipun
kita berharap
pastilah
ingin melihat
mereka tumbuh
dengan baik,
berkem
bang menjadi
anak yang suputra, karena
suputra bisa
menyeberangkan
orang tuanya dan neraka ke sorga. Perlu diingat bahw
a
suputra tidak
mengacu pada
anak laki
-
laki saja.
Semua anak yang dilahirkan,
baik
laki
-
laki maupun
perempuan, jika
dia berkemban
g sesuai dharma
dialah
Suputra
.
Dengan adanya
anak
yang
Suputra
inilah yang
menyebabkan siklus Pitra Yadnya
dan Manusa
Yanya
dapat
berkesinamb
ungan.
Sedangkan
menyangkut hubungan dengan orang lain, tentu juga harus senantiasa
dijaga. Baik
itu hubungan dengan keluarga besar sanak famili, rekan kerja, maupun
tetangga di
lingkungan sekitar kita termasuk dengan sesama
Krama Banjar
. Ini
juga
perlu
d
ilakukan
sebagai wujud nyata pelaksanaan Manusa Yadnya.
Tahapan
Wanaprastha dan Bhiksuka sendiri
umumnya
sangat jarang
dilakukan
oleh orang
awam. Hanya mereka
yang benar
-
benar sanggup
dan mampu mengendalikan
keterikatan
duniawi
-
lah yang bisa
menjalani tahap ini. Kita bisa ambil contoh seorang
Sulinggih
(
Pedanda/Pandita
). Keseharian
mereka selalu diisi dengan kegiatan
-
kegiatan
spiritual,
untuk mendekatkan diri de
ngan Tuhan.
Mereka punya kewajiban
menghantarkan
jalannya suatu upacara dimanapun dan kapanpun dibutuhkan umat,
tanpa meminta
upah atau imbalan
atas jasa
-
jasa mereka
.
Inilah Karma
yang
tulus dan
utama
.
Kesimpulannya
,
pada setiap
tahapan hidup kita wajib m
elaksanakan
yadnya
.
Untuk
Brahmacari
Asrama,
Bhagawan
Wararuci dalam Kitab Sara
samuccaya sloka
27
mengajari kita
memanfaatkan masa muda dengan sebaik
-
baiknya, yang
beliau
umpamakan
seperti rumput ilalang yang masih muda.
Seperti kita
tahu, ujung ilalang
yang masih muda
itu amat tajam. Maksudnya adalah
bahwa
ketika masih
muda pikiran
masih sangat
tajam
atau cerdas
, hendaknya
digunakan untu
k menuntut
dharma
dan ilmu
pengetahuan.
Dengan tajamnya pikiran seorang anak juga bisa me
-
yadnya
-
k
an tenaga
dan pikirannya
itu, mengukir prestasi, membanggakan orangtua, serta mengharumkan
nama bangsa
.
Untuk Grehasta
Asrama,
Kitab
Nitisastra tampaknya bisa dijadikan pedoman.
Menurut
ajaran Agama
Hindu salah satu tujuan perkawinan atau Grehasta adalah
memperoleh anak
yang suputra. Dalam Kitab
Nitisastra
dijelaskan
:
“
Orang yang
mampu membuat seratus su
mur masih kalah
keutamaannya
dibandingkan
orang yang mampu membuat satu waduk. Orang yang mampu membuat
seratus waduk
kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat
satu yadnya
secara lascarya
/tulus ikhlas
. Dan orang
yang mampu membuat ser
atus
yadnya masih
kalah keutamaannya dengan orang yang mampu melah
irkan seorang
anak
yang suputra”.
Sedangkan untuk
Wanaprastha dan Bhiksuka, dalam Bhagawadgita Adyay
a
II
Sloka
47
“Karmany
Ewadhikaras Te Ma Phalasu Kadaçana, Ma Karma Phala Hetur
Bhurma, Te
Sango ‘Stwa Akarmani”
artinya:
bahwa
hanya
dengan
berbuat dan
berbuat
yang menjadi
kewajiban kita,
dan
bukan hasil da
ri perbuatan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar