Jumat, 24 Januari 2014

Acara Agama Hindu 2



                                                
Om swastiastu
            Atas asung kertha wara nugraha Ida sang hyang widhi wasa /tuhan yang Maha Esa kami saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “upacara potong gigi/ mepandes dan manusa yadya dalam agama Hindu “ tepat pada waktunya .
            Makalah ini disusun, disampaing merupakan tugas  akademik sebagai syarat mengikuti perkuliahan di Insitut Hindu dharma Negeri (IHDN)Denpasar , dan juga menikatkan pengetahuan mahasiswa  di bidang pendidikan Agama Hindu Khususnya di bidang upacara potong gigi
            Dalam penyususn makalah ini saya banyak mendapatkan bantuan da bimbingan  dari berbagai pihak untuk melalui kesempatan ini  penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak dosen pengampu mata kuliah acara agama hindu II.yang sudah memberikan bimbingan akademik bagi sya untuk menyelesaikan makalah  ini , dan tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih  kepada teman teman yang sudah memberikan masukan dalam menyusun makalah iani.
Saya  sadari bahwa dalam penyusunan makalah  tidak bisa dikatakan sempurna.untuk itu kritik dan saran yang bersifat kontruktif  dari para pembaca dan penyimak demi kesempurnaan makalah yang telah di susun ini.
            Sebagai akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermamfaat untuk menambah wawasan pengetahuan di bidang acara agama hindu .

Om santih, santih, santih , om

                                                                                                           
Singaraja 28 desember 2012




Penulis


                                                            DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR  ISI

BAB I
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan

BAB II
2.1 pengertian Manusa yadnya
2.2 pengertian Upacara Potong Gigi
2.3 Tata cara upacara potong Gigi

BAB II
3.1 Kesimpulan
3.2 saran
Daftar Pustaka
  




                                     
BAB I
                                      PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sejak masih berumur satu hari, setiap orang Bali dipenuhi dengan banyak ritual dalam hidupnya. Mulai dari upacara saat kelahirannya hingga ia meninggal dunia. Salah satu yang harus dilalui adalah Upacara Potong Gigi atau Metatah / Mesangih dalam Bahasa Bali. Upacara Metatah merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu orang Bali yang menganut agama Hindu Bali. Upacara ini menandai satu babak hidup memasuki usia dewasa secara niskala.Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut. Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña. Berdasarkan pengertian upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.

1.2.rumusan Masalah
1.2.1  Apa pengertian dari manusia yadnya?
1.2.2  Apa pengertian upacara mepandes(potong gigi)?
1.2.3 Bagaimana tata cara pelaksaaan upacara  potong gigi  dalam ajaran agama hindu?

1.3 Tujuan
            1.3.1 Adapun tujuan dari pembuatan makalah saya ini unttuk memahami makna yang trekandung dalam upacara potong gigi itu sendiri serta dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari terutama yang menganut agama hindu.   






                                                BAB II
                                      PEMBAHASAN  


2.1  Pengertian  manusia yadnya
Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah tempat, keadaan dan waktu sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
     Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa Yadnya seperti :

1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
         Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .Waktu Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari (7 bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari baik. Tempat Upacara Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan). Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh Pandita, Pinandita atau salah seorang yang tertua (pinisepuh).

2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.     Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
 • Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.

3. Upacara kepus puser
              Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas. Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.

4. Upacara bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
         Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.

5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
         Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala). Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga. Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.

6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara
              Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon. Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.

7. Upacara satu oton - (Otonan)
              Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
              Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.

9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.

10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak. Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.

11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
              Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
              Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra).
           

2.2  Pengertian  Upacara Potong Gigi
Penggalian fosil – fosil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi – gigi mereka menunjukkan tanda – tanda yang telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah di kenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.  Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah atau Mesanggih, kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut. meratakan empat gigi seri dan 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan,upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini. Upacara ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.
 Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia. Tujuan upacara potong gigi lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai suarga loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan .
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah , merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña.
  1. Adapaun makna yang dikandung dalam upacara mapandes ini adalah:
    Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
  2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
  3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
Upacāra ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra. tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
  1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
  2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
  3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
  4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
2.1.1 Kekuatan  Supranatural dalam upacara potong Gigi.

Prosesi potong gigi hanya merupakan simbolisasi saja. Gigi yang ada bukan dipotong tetapi diratakan dengan menggunakan kikir. Ada 6 gigi atas yang diratakan, termasuk gigi taring, ke 6 gigi inilah yang melambangkan Sad Ripu. Hanya memakan waktu sekitar 10 – 15 menit untuk melakukan prosesi ini, dan yang melakukannya haruslah seorang yang ahli yang disebut sangging.Para sangging biasanya orang yang telah di inisiasi menjadi Pinandita yang memang memiliki ketrampilan untuk itu. Mantra-mantra harus dilafalkan oleh sangging sebelum melakukan tugasnya supaya upacara berjalan dengan lancar dan semuanya dilakukan di bale keluarga. Sangging, yang juga memiliki kekuatan supranatural ini lalu mengeluarkan sebuah cincin merah delima dan menuliskan rajahan"Ongkara" pada gigi dan dada. Cincin ini berfungsi sebagai proteksi dari serangan ilmu hitam dari orang yang tak suka pada mereka, dan juga tempat metatah biasanya juga dijaga ketat oleh beberapa orang anggota keluarga dan juga yang memiliki kekuatan supranatural. Tak jarang pula terdengar kabar orang yang ditatah menjadi sakit, giginya rontok bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Oleh karena itu upacara metatah tak pernah dilakukan hingga sang surya berada di puncak langit. Sebelum upacara dimulai, bagian mulut mereka(orang yang akan melakukan upacara potong gigi) diganjal terlebih dahulu dengan potongan dari kayu dadap atau tebu dan kumur-kumur dengan air perasan kunir lalu diakhiri dengan mengigit daun sirih pertanda berakhirnya proses metatah. Air liur yang keluar yang keluar ditampung dalam sebuah kelapa gading dan biasanya dipegang oleh ibu kandung. Setelah itu merekapun diperciki dengan air suci atau Tirtha Pembersihan/Penyucian oleh Sangging. Lalu mereka pun bersembahyang di merajan keluarga, dipimpin oleh seorang pedanda untuk memohon perlindungan dari Sang Hyang Widi Wasa untuk memasuki tahapan baru dalam hidup mereka. Kepada leluhur mereka minta didoakan dan direstui jalan hidupnya yang dilambangkan dengan Kewangen. Pantangan – Pantangan dalam Upacara Potong Gigi:

Ibu-Ibu/Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan melakukan upacara potong gigi/ mepandes. Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka.
Penjelasan:
1. Mepandes adalah suatu upacara yang menyebabkan diri cuntaka.
Lamanya cuntaka, saat dia naik ke bale petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan mabeakala. Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan waktu antara 1-2 jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu kena cuntaka.
2. Bayi atau jabang bayi yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede – lepra, aids dll). Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan. Pantangan-pantangan Yang Dihindari:

-Tidak boleh makan atau minum sekehendaknya selama 3 hari. Makan dan minum panas atau dingin merupakan pantangan yang utama setelah melakukan upacara poyong gigi. Karena apabila makan dan minum yang panas atau dingin maka akan merusak gigi.
-Tutur kata tidak boleh menjelek-jelekkan orang lain.
- Sebelum dan sesudah melaksanakan upacara potong gigi tidak boleh meninggalkan rumah sekehendaknya. selama 3 hari.
-Waktu tidur dan makan di atur oleh orang tua setelah mendapat penjelasan sebelumnya dari pendeta yang memimpin upacara tersebut.
-Waktu mandipun diatur
-Tidak diperkenankan membunuh binatang, tidak boleh berkelahi atau mencaci maki orang lain.
Lambang-lambang atau Makna yang Terkandung dalam Unsur-unsur Upacara:
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ada beberapa perlengkapan upacara yang digunakan yaitu seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat, sebentuk emas, telur ayam, daging kelapa, gula merah, dan daun pacar. Alat perlengkapan ini melambangkan antara lain:
-Sirih pinang dan piring adat merupakan sesuatu yang harus dimuliakan pada suku bangsa Pamona pada setiap upacara tradisional sebab kedua perangkat alat ini melambangkan kesucian, kemuliaan, dan penghormatan kepada leluhurnya.
-Telur ayam melambangkan supaya mempunyai keturunan yang banyak seperti ayam.
-Daging kelapa melambangkan supaya hati mereka lemah lembut seperti daging kelapa tersebut.
-Gula merah melambangkan supaya mempunyai masa depan yang manis seperti gula. Artinya agar dalam menjalani hidupnya kelak senantiasa mendapat kesenangan dan kedamaian hidup.
-Daun pacar melambangkan agar mereka kelak mudah mendapat jodoh yang baik.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput
berbagai tanggapan muncul, terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut:
1. Mapandes adalah upacāra Manusa Yajña (Śarīra Saṁsakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
2. Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacārakan Mapandes.
3. Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.

Dampak upacara potong gigi terhadap kesehatan:Penemuan di bidang kesehatan bahwa kikir gigi cenderung berdampak negatif sehingga lebih baik dihindari. Alasan tersebut telah menggoyah posisi upacara Mepandes. Tradisi mengikir gigi juga dapat dijumpai di sebagian besar daerah kebudayaan Jawa khususnya beberapa tingkat generasi di atas generasi saat ini. Barangkali, karena alasan kesehatan, ritual ini telah menguap: kikir gigi pada umumnya mengikis email atau bagian ujung gigi sehingga gigi menjadi rentan terhadap kerusakan dan infeksi. Dalam masyarakat modern, kikir gigi dilakukan lebih didorong oleh motif kecantikan dan dilakukan oleh dokter gigi.

2.3 Tata Cara pelaksaan dan sarana upacara potong Gigi

Pada hari baik yang sudah ditentukan, peserta potong gigi sejak pagi hari sudah melakukan yang namanya mabersih ring raga. Mereka dimandikan secara adat dengan air kembang 7 rupa. Ada mawar, kenanga, cempaka, pacah, dan bunga lain yang harumnya alami. Setelah itu mereka yang akan potong gigi dirias dengan pakaian adat kebesaran. Namanya payas agung matatah. Untuk pria terdiri dari bagian atasnya destar dengan motif prada keemasan, sedangkan wanitanya gelung juga dengan bunga emas betulan. Pakaiannya bagi peserta metatah pria mengenakan baju putih terbuat dari kain sutra dengan torehan prada bermotif aneka macam bunga dan satwa langka. Destar bermotif prada maknanya, adalah mereka yang potong gigi diharapkan bisa mengendalikan fikirannya sehingga senantiasa bening dan bersih. Adapun urutan di dalam proses pelaksanaan upacara potong gigi / mepandes adalah sebagai berikut :

• Ngekeb, yang artinya disini tidak boleh keluar meten atau di gedong sampai menjelang upacara potong gigi keesokan harinya.
• Pada saat yang tepat, biasanya sebelum tengah hari, ketika pemimpin upacara potong gigi sudah mempersiapkan banten dan perlengkapan lainnya, peserta potong gigi akan dituntun oleh orang tuanya menuju bale adat. Ditempat itu seluruh sanak keluarga dan kerabat sudah menanti dengan perasaan terharu. Hari itu mereka akan menjadi saksi akan berakhirnya masa kanak-kanak bagi salah satu keluarga mereka.

• Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga kali (Ang, Ung, Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu. Setelah melakukan sembah sebanyak 3 kali, dan memakai sarana kwangen pada sembah yang kedua, mereka yang akan potong gigi memulai ritual sakral itu. Direbahkan diatas kasur masih lengkap dengan pakaian adat kebesaran. Yang pertama dilakukan adalah, menggigit tebu untuk mengganjal rahang sehingga tidak tertutup selama proses pengikiran gigi. Selanjutnya adalah secara simbolis memahat dengan pahat kecil 6 gigi bagian atas, 2 taring, dua gigi depan dan dua gigi sebelahnya. Ini simbolis bahwa 6 musuh dalam diri akan segera disingkirkan. Dia terdiri dari keinginan untuk main judi, mencuri, main perempuan, minum, mabuk dan madat.

• Kemudian dengan penuh konsentrasi sangging atau ahli potong gigi secara adat akan melakukan tugasnya. Gigi taring dan 4 gigi bagian atas akan dikikir secara pelahan untuk membuatnya rata. Ini berlangsung beberapa menit saja, kemudian mereka yang potong gigi akan diberi cermin untuk melihat apakah giginya sudah rata, taringnya sudah tidak lancip lagi. Ketika itulah keluarga yang berada di sekitar bale adat akan memberi komentar apakah giginya sudah bagus atau belum. 
• Selanjutnya dilakukan kumur suci, dengan menggunakan tirta yang dibuat dengan doa tertentu. Dilanjutkan dengan membung air kumuran itu ke dalam kelapa gading yang sudah dikasturi. Kasturi maksudnya dilubangi dengan pisau tajam yang sudah disucikan dengan simetres berbentuk segi enam. Kelapa gading itu kemudian dikumpulkan dan dengan upacara tertentu di buang ke sungai yang mengalir ke laut. Maknanya semua keburukan yang ada pada diri manusia sudah dimusnahkan. 
• Selanjutnya peserta potong gigi diberikan sirih yang sudah diberikan mantra suci, mereka harus menggigitnya sebanyak 3 kali, maknanya setelah potong gigi mereka memulai sesuatu dengan pandangan baru yang lebih pragmatis, tidak lagi membawa masa kanak-kanak yang melenakan dan kadang menjengkelkan. 
• Barulah kemudian mereka boleh turun kehalaman, tapi sebelumnya menginjak dulu banten pengelukatan sebanyak tiga kali, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa secara spiritual sudah selesai, makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik, serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua, juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa yang akan datang. 
• Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja. Mabyakala Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara Samudaya. Selanjutnya menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan meeteh – eteh persediaan,yaitu : Maprascita, Matirtha penglukatan, Pebersihan dan Pekuluh, Mejaya – jaya, Ngayab banten oton, Ngayab banten pawinten dan dilanjutkan dengan Mapedamel. 

Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu, mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma. Secara simbolis ketika mepadamel, dilakukan sebagai berikut :

1. Mengenakan kain putih, kampuh kuning, dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih.
2. Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih, hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
3. Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia. 

• Kemudian dilanjutkan dengan mapinton ke Pura Khayangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang menjadi pujaannya. Demikianlah yang dapat saya jelaskan tentang upacara potong gigi / mepandes yang bermakna tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, dan menjaga agar hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesama, dan manusia dengan Tuhannya dijaga secara harmonis, serasi, seimbang dan selaras. 

Sarana:
1 Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2 Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3 Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4 Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
5 Pengurip-urip yang terdiri dari kunir serta pecanangan lengkap dengan isinya.
~Waktu: Upacara ini dilaksanakan:setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga.
~Tempat: Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pernerajan.
~Pelaksana: Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita ‘dan dibantu oieh
seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
~Tata cara:
1 Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2 Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3 Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4 Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5 Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6 Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
~Mantram-mantramnya:
1. Mantram prayascita dan bhyakala.
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Saçwa rogha satru winasa ya rah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tarn. Sam. Bam. Im, sarwa dandamala papa klesa, wenasaya rah, Um, phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa,
papa petaka wenasaya rah, Um phat,
Om Siddhi guru srom, Sarwasat.
Om sarwa weghena winasaya, sarwa papa wenasaya, astu ya namah swaha. Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan lain-lain menjadi sirna.
2. Mantram mohon persaksian.
Om adityasya parantyoti rakta tejo nama stute, swera pang kajo mandhyaste Bhaskara ya namo namah, pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa wia sanam, pranamya ditya siwartham bhukti mukti warapradam.
Om rang ring sah paramya Çiva dityaya namo namah swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu dengan pertolongan hanya dariMu.
Om dimulyakanlah Engkau ya Tuhan.
3. Mantram alat pengasah.
Om Sang perigi manik, aja sira geger lunga antinen kakang nira sang kanaka
teka pageh, tan katekaning lara wigena,
teka awet, awet, awet.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.
4. Mantram pengurip-urip.
Om urip-urip bayu, sabda idep teka urip, ang, ah.
Artinya:
Om Sang Hyang Widhi Wasa, dalam wujud Brahma Maha Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap alat-alat ini.
5. Mantram Mejaya-jaya.
Om Dirgayur Astu ta astu,
Om subham astu tat astu,
Om Sukham bhawantu,
Om Pumam bhawantu,
Om sreyam bhawantu,
Om Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang umur.



2.4 TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN KELUARGA
Upacāra Mapandes adalah merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk menyelenggarakannya, dan bila kita kaji secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita yang menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang pada akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan kebahagian hidup di dunia ini) dan Mokṣa (bersatunya Ātman dengan Paramātman). Dalam melakukan Yajña ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang melaksanakan atau yang memiliki upacāra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten dan sangging), dan Sang Pandita (yang memimpin dan menyelesaikan upacāra) adalah ketulusan hati. Ketulusan ini patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yajña tersebut berhasil Śiddhakarya. Untuk mengembangkan ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya dapat melakukan berbagai Brata, seperti Upavaśa (mengendalikan diri untuk tidak menikmati makanan) pada saat puncak upacāra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yajña yang diselenggarakan.





























BAB III

                                                PENUTUP


3.1 Kesimpulan
           
 Penggalian fosil – fosil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi – gigi mereka menunjukkan tanda – tanda yang telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah di kenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.  Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah atau Mesanggih, kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut. meratakan empat gigi seri dan 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan,upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini. Upacara ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.

3.2 saran

Di harapkan bagi umat hindu agar selalu menjalankan kewajiban dalam menjalankan upacara potong gigi karna ini bepengaruh pada kehidupan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar