Om
swastiastu
Atas asung kertha wara nugraha Ida
sang hyang widhi wasa /tuhan yang Maha Esa kami saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “upacara potong gigi/ mepandes dan manusa yadya dalam
agama Hindu “ tepat pada waktunya .
Makalah ini disusun, disampaing
merupakan tugas akademik sebagai syarat
mengikuti perkuliahan di Insitut Hindu dharma Negeri (IHDN)Denpasar , dan juga
menikatkan pengetahuan mahasiswa di
bidang pendidikan Agama Hindu Khususnya di bidang upacara potong gigi
Dalam penyususn makalah ini saya
banyak mendapatkan bantuan da bimbingan
dari berbagai pihak untuk melalui kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak dosen pengampu mata kuliah acara agama hindu
II.yang sudah memberikan bimbingan akademik bagi sya untuk menyelesaikan
makalah ini , dan tidak lupa juga saya
ucapkan terima kasih kepada teman teman
yang sudah memberikan masukan dalam menyusun makalah iani.
Saya sadari bahwa dalam penyusunan makalah tidak bisa dikatakan sempurna.untuk itu
kritik dan saran yang bersifat kontruktif
dari para pembaca dan penyimak demi kesempurnaan makalah yang telah di
susun ini.
Sebagai akhir kata kami berharap
semoga makalah ini dapat bermamfaat untuk menambah wawasan pengetahuan di
bidang acara agama hindu .
Om santih, santih,
santih , om
Singaraja 28 desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II
2.1
pengertian Manusa yadnya
2.2
pengertian Upacara Potong Gigi
2.3
Tata cara upacara potong Gigi
BAB II
3.1
Kesimpulan
3.2
saran
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Sejak masih berumur satu hari, setiap orang
Bali dipenuhi dengan banyak ritual dalam hidupnya. Mulai dari upacara saat
kelahirannya hingga ia meninggal dunia. Salah satu yang harus dilalui adalah
Upacara Potong Gigi atau Metatah / Mesangih dalam Bahasa Bali. Upacara Metatah
merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu orang Bali
yang menganut agama Hindu Bali. Upacara ini menandai satu babak hidup memasuki
usia dewasa secara niskala.Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang
dimaksud adalah memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan
kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan
diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah
diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata
masangih tersebut. Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan
berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra
Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan
dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.
Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña. Berdasarkan
pengertian upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa
upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan
umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi,
melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi
manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.
1.2.rumusan
Masalah
1.2.1 Apa
pengertian dari manusia yadnya?
1.2.2
Apa pengertian upacara mepandes(potong gigi)?
1.2.3 Bagaimana tata cara pelaksaaan
upacara potong gigi dalam ajaran agama hindu?
1.3
Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan dari pembuatan
makalah saya ini unttuk memahami makna yang trekandung dalam upacara potong
gigi itu sendiri serta dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari
terutama yang menganut agama hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
manusia yadnya
Manusa
Yadnya adalah suatu upacara suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup
manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah tempat, keadaan dan
waktu sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak
mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak
dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam
menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi
kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan
lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam
rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap
seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara manusa
yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat
tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta
adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka.
Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia
dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk pada jenjang-jenjang
kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa Yadnya seperti :
1. Magedong- gedongan
(Garbhadhana Samskara)
Upacara ini
dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .Waktu
Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari (7
bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari baik. Tempat Upacara
Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat
permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan
sanggar pemujaan (sanggah kamulan). Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh
Pandita, Pinandita atau salah seorang yang tertua (pinisepuh).
2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara
ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia. Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih
dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal
tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama
disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan
tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua
terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus
puser
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang
dilakukan pada saat puser bayi lepas. Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah
terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara
ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua (sesepuh), atau jika tidak ada,
orang tua si bayi.
4. Upacara bayi umur
12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang
disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama
dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat
saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang
Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
5. Upacara kambuhan
(umur 42 hari)
Upacara ini
dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin
si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari
pengaruh-pengaruh negative (mala). Upacara Tutug Sambutan (Upacara
setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian
Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara
Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan
pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi
telinga. Upacara Mepetik merupakan upacara
suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan
/ pemotongan rambut untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi
belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot
(jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang
pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan
rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket
upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
6. Upacara nelu
bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara
Upacara yang
dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan
pawukon. Waktu
Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan,
misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan
bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh,
upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat
Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
7. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara yang
dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini
bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang
terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih
sempurna.
8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang
dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk
memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Waktu Upacara ini dilaksanakan
pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu
matahari terbit. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah
seorang anggota keluarga tertua.
9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu
pengetahuan.
10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara
ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan
yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak. Waktu Upacara menginjak dewasa
(munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa.
Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada
putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita
saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang
bulan (menstruasi) pertama.
11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara manusa
yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat
tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta
adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya
adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat
bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Waktu
Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning
dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai
dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra).
Penggalian fosil – fosil manusia purba yang
diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang
lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan
pada gigi – gigi mereka menunjukkan tanda – tanda yang telah diasah. Dengan
demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah
di kenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu. Upacara
Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia.
Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah
atau Mesanggih, kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah
diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari
kata masangih tersebut. meratakan empat gigi seri dan 6 buah taring yang ada di
deretan gigi atas dikikir atau ratakan pada rahang atas, yang secara simbolik
dipahat 3 kali, diasah dan diratakan,upacara ini merupakan satu kewajiban, adat
istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali
secara turun temurun sampai saat ini. Upacara
ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa,
dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan
bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah,
dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang
mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.
Oleh karena itu kewajiban bagi setiap
orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat
buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia. Tujuan upacara potong gigi lontarkalapati dimana disebutkan
bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua
taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan
symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi
kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung),
dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan
membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk
menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar
dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala
Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu
waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian
hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai suarga loka bersama roh suci para
leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun
diatur agar tidak melewati batas kesusilaan .
Bila kita mengkaji lebih jauh,
upacāra Mapandes dengan berbagai istilah , merupakan upacāra Śarīra Saṁskara,
yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali
upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña.
- Adapaun makna yang dikandung dalam upacara mapandes ini
adalah:
Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā. - Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
- Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan
pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah
dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting
bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri
pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri
pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar
Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak
akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam
Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi
mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit
pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita
hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila
belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur.
Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra
Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa
Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
Upacāra
ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya
yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya,
diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra. tujuan
dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati
yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam
dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia.
Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka
upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
- Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
- Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
- Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
- Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
2.1.1 Kekuatan
Supranatural dalam upacara potong Gigi.
Prosesi potong gigi hanya merupakan simbolisasi saja. Gigi yang
ada bukan dipotong tetapi diratakan dengan menggunakan kikir. Ada 6 gigi atas
yang diratakan, termasuk gigi taring, ke 6 gigi inilah yang melambangkan Sad
Ripu. Hanya memakan waktu sekitar 10 – 15 menit untuk melakukan prosesi ini,
dan yang melakukannya haruslah seorang yang ahli yang disebut sangging.Para
sangging biasanya orang yang telah di inisiasi menjadi Pinandita yang memang
memiliki ketrampilan untuk itu. Mantra-mantra harus dilafalkan oleh sangging
sebelum melakukan tugasnya supaya upacara berjalan dengan lancar dan semuanya
dilakukan di bale keluarga. Sangging, yang juga memiliki kekuatan supranatural
ini lalu mengeluarkan sebuah cincin merah delima dan menuliskan
rajahan"Ongkara" pada gigi dan dada. Cincin ini berfungsi sebagai
proteksi dari serangan ilmu hitam dari orang yang tak suka pada mereka, dan
juga tempat metatah biasanya juga dijaga ketat oleh beberapa orang anggota
keluarga dan juga yang memiliki kekuatan supranatural. Tak jarang pula
terdengar kabar orang yang ditatah menjadi sakit, giginya rontok bahkan ada
yang sampai meninggal dunia. Oleh karena itu upacara metatah tak pernah
dilakukan hingga sang surya berada di puncak langit. Sebelum upacara dimulai,
bagian mulut mereka(orang yang akan melakukan upacara potong gigi) diganjal
terlebih dahulu dengan potongan dari kayu dadap atau tebu dan kumur-kumur
dengan air perasan kunir lalu diakhiri dengan mengigit daun sirih pertanda
berakhirnya proses metatah. Air liur yang keluar yang keluar ditampung dalam
sebuah kelapa gading dan biasanya dipegang oleh ibu kandung. Setelah itu
merekapun diperciki dengan air suci atau Tirtha Pembersihan/Penyucian oleh
Sangging. Lalu mereka pun bersembahyang di merajan keluarga, dipimpin oleh
seorang pedanda untuk memohon perlindungan dari Sang Hyang Widi Wasa untuk
memasuki tahapan baru dalam hidup mereka. Kepada leluhur mereka minta didoakan
dan direstui jalan hidupnya yang dilambangkan dengan Kewangen. Pantangan –
Pantangan dalam Upacara Potong Gigi:
Ibu-Ibu/Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan melakukan
upacara potong gigi/ mepandes. Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka.
Penjelasan:
1. Mepandes adalah
suatu upacara yang menyebabkan diri cuntaka.
Lamanya cuntaka, saat
dia naik ke bale petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan
mabeakala. Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan
waktu antara 1-2 jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu
kena cuntaka.
2. Bayi atau jabang
bayi yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas
perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi
manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut
dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja,
tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat orang mati, mengunjungi
penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede – lepra, aids
dll). Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu
ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan. Pantangan-pantangan
Yang Dihindari:
-Tidak boleh makan
atau minum sekehendaknya selama 3 hari. Makan dan minum panas atau dingin
merupakan pantangan yang utama setelah melakukan upacara poyong gigi. Karena
apabila makan dan minum yang panas atau dingin maka akan merusak gigi.
-Tutur kata tidak
boleh menjelek-jelekkan orang lain.
- Sebelum dan sesudah melaksanakan upacara potong gigi tidak
boleh meninggalkan rumah sekehendaknya. selama 3 hari.
-Waktu tidur dan makan
di atur oleh orang tua setelah mendapat penjelasan sebelumnya dari pendeta yang
memimpin upacara tersebut.
-Waktu mandipun diatur
-Tidak diperkenankan
membunuh binatang, tidak boleh berkelahi atau mencaci maki orang lain.
Lambang-lambang atau Makna yang Terkandung
dalam Unsur-unsur Upacara:
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa ada beberapa perlengkapan upacara yang digunakan
yaitu seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat, sebentuk emas, telur
ayam, daging kelapa, gula merah, dan daun pacar. Alat perlengkapan ini
melambangkan antara lain:
-Sirih pinang dan
piring adat merupakan sesuatu yang harus dimuliakan pada suku bangsa Pamona
pada setiap upacara tradisional sebab kedua perangkat alat ini melambangkan
kesucian, kemuliaan, dan penghormatan kepada leluhurnya.
-Telur ayam
melambangkan supaya mempunyai keturunan yang banyak seperti ayam.
-Daging kelapa
melambangkan supaya hati mereka lemah lembut seperti daging kelapa tersebut.
-Gula merah
melambangkan supaya mempunyai masa depan yang manis seperti gula. Artinya agar
dalam menjalani hidupnya kelak senantiasa mendapat kesenangan dan kedamaian
hidup.
-Daun pacar
melambangkan agar mereka kelak mudah mendapat jodoh yang baik.
Bagi seseorang yang
belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput
berbagai tanggapan
muncul, terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui
keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan
jalan ke luar, sebagai berikut:
1. Mapandes adalah
upacāra Manusa Yajña (Śarīra Saṁsakara) yang patut dilaksanakan pada saat
seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga).
Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
2. Bila orang tua yang
bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya
dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi
dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi
diupacārakan Mapandes.
3. Dengan demikian
orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya
diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
Dampak upacara potong gigi terhadap kesehatan:Penemuan di bidang
kesehatan bahwa kikir gigi cenderung berdampak negatif sehingga lebih baik
dihindari. Alasan tersebut telah menggoyah posisi upacara Mepandes. Tradisi
mengikir gigi juga dapat dijumpai di sebagian besar daerah kebudayaan Jawa
khususnya beberapa tingkat generasi di atas generasi saat ini. Barangkali,
karena alasan kesehatan, ritual ini telah menguap: kikir gigi pada umumnya
mengikis email atau bagian ujung gigi sehingga gigi menjadi rentan terhadap
kerusakan dan infeksi. Dalam masyarakat modern, kikir gigi dilakukan lebih
didorong oleh motif kecantikan dan dilakukan oleh dokter gigi.
2.3 Tata Cara pelaksaan dan sarana upacara
potong Gigi
Pada
hari baik yang sudah ditentukan, peserta potong gigi sejak pagi hari sudah
melakukan yang namanya mabersih ring raga. Mereka dimandikan secara adat dengan
air kembang 7 rupa. Ada mawar, kenanga, cempaka, pacah, dan bunga lain yang
harumnya alami. Setelah itu mereka yang akan potong gigi dirias dengan pakaian
adat kebesaran. Namanya payas agung matatah. Untuk pria terdiri dari bagian
atasnya destar dengan motif prada keemasan, sedangkan wanitanya gelung juga
dengan bunga emas betulan. Pakaiannya bagi peserta metatah pria mengenakan baju
putih terbuat dari kain sutra dengan torehan prada bermotif aneka macam bunga
dan satwa langka. Destar bermotif prada maknanya, adalah mereka yang potong
gigi diharapkan bisa mengendalikan fikirannya sehingga senantiasa bening dan
bersih. Adapun urutan di dalam proses pelaksanaan upacara potong gigi /
mepandes adalah sebagai berikut :
• Ngekeb, yang artinya disini tidak
boleh keluar meten atau di gedong sampai menjelang upacara potong gigi keesokan
harinya.
• Pada saat yang tepat, biasanya sebelum tengah hari, ketika pemimpin upacara potong gigi sudah mempersiapkan banten dan perlengkapan lainnya, peserta potong gigi akan dituntun oleh orang tuanya menuju bale adat. Ditempat itu seluruh sanak keluarga dan kerabat sudah menanti dengan perasaan terharu. Hari itu mereka akan menjadi saksi akan berakhirnya masa kanak-kanak bagi salah satu keluarga mereka.
• Pada saat yang tepat, biasanya sebelum tengah hari, ketika pemimpin upacara potong gigi sudah mempersiapkan banten dan perlengkapan lainnya, peserta potong gigi akan dituntun oleh orang tuanya menuju bale adat. Ditempat itu seluruh sanak keluarga dan kerabat sudah menanti dengan perasaan terharu. Hari itu mereka akan menjadi saksi akan berakhirnya masa kanak-kanak bagi salah satu keluarga mereka.
• Naik ke bale tempat mepandes
dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan
linggis tiga kali (Ang, Ung, Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang
Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk
mewaspadai sad ripu. Setelah melakukan sembah sebanyak 3 kali, dan memakai
sarana kwangen pada sembah yang kedua, mereka yang akan potong gigi memulai
ritual sakral itu. Direbahkan diatas kasur masih lengkap dengan pakaian adat
kebesaran. Yang pertama dilakukan adalah, menggigit tebu untuk mengganjal
rahang sehingga tidak tertutup selama proses pengikiran gigi. Selanjutnya
adalah secara simbolis memahat dengan pahat kecil 6 gigi bagian atas, 2 taring,
dua gigi depan dan dua gigi sebelahnya. Ini simbolis bahwa 6 musuh dalam diri
akan segera disingkirkan. Dia terdiri dari keinginan untuk main judi, mencuri,
main perempuan, minum, mabuk dan madat.
• Kemudian dengan penuh konsentrasi
sangging atau ahli potong gigi secara adat akan melakukan tugasnya. Gigi taring
dan 4 gigi bagian atas akan dikikir secara pelahan untuk membuatnya rata. Ini
berlangsung beberapa menit saja, kemudian mereka yang potong gigi akan diberi
cermin untuk melihat apakah giginya sudah rata, taringnya sudah tidak lancip
lagi. Ketika itulah keluarga yang berada di sekitar bale adat akan memberi
komentar apakah giginya sudah bagus atau belum.
• Selanjutnya dilakukan kumur suci,
dengan menggunakan tirta yang dibuat dengan doa tertentu. Dilanjutkan dengan
membung air kumuran itu ke dalam kelapa gading yang sudah dikasturi. Kasturi
maksudnya dilubangi dengan pisau tajam yang sudah disucikan dengan simetres
berbentuk segi enam. Kelapa gading itu kemudian dikumpulkan dan dengan upacara
tertentu di buang ke sungai yang mengalir ke laut. Maknanya semua keburukan
yang ada pada diri manusia sudah dimusnahkan.
• Selanjutnya peserta potong gigi
diberikan sirih yang sudah diberikan mantra suci, mereka harus menggigitnya
sebanyak 3 kali, maknanya setelah potong gigi mereka memulai sesuatu dengan
pandangan baru yang lebih pragmatis, tidak lagi membawa masa kanak-kanak yang
melenakan dan kadang menjengkelkan.
• Barulah kemudian mereka boleh
turun kehalaman, tapi sebelumnya menginjak dulu banten pengelukatan sebanyak
tiga kali, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai
sejak berada dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa secara spiritual sudah
selesai, makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya
karena telah memelihara dengan baik, serta memohon maaf atas
kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua, juga mohon doa restu agar selamat
dalam menempuh kehidupan di masa yang akan datang.
• Dilanjutkan dengan mebiakala
sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan
masa remaja. Mabyakala Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara
Samudaya. Selanjutnya menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan
meeteh – eteh persediaan,yaitu : Maprascita, Matirtha penglukatan, Pebersihan
dan Pekuluh, Mejaya – jaya, Ngayab banten oton, Ngayab banten pawinten dan
dilanjutkan dengan Mapedamel.
Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu, mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma. Secara simbolis ketika mepadamel, dilakukan sebagai berikut :
1. Mengenakan kain putih, kampuh kuning, dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih.
2. Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih, hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
3. Mencicipi Sad rasa yaitu enam
rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa
kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar
tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa
sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku,
rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas
pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan
yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu
menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta
enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
• Kemudian dilanjutkan dengan
mapinton ke Pura Khayangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang
menjadi pujaannya.
Demikianlah yang dapat saya jelaskan
tentang upacara potong gigi / mepandes yang bermakna tidak lain guna membimbing
umat manusia lebih meningkatkan bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata
dan leluhur, dan menjaga agar hubungan antara manusia dengan alam, manusia
dengan sesama, dan manusia dengan Tuhannya dijaga secara harmonis, serasi,
seimbang dan selaras.
Sarana:
1 Sajen sorohan dan
suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2 Sajen pabhyakalan
prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya
seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan
permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3 Sajen peras daksina,
ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4 Alat pengganjal yang
dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak
rasanya.
5 Pengurip-urip yang
terdiri dari kunir serta pecanangan lengkap dengan isinya.
~Waktu: Upacara ini
dilaksanakan:setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu
kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga.
~Tempat: Seluruh
rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pernerajan.
~Pelaksana: Upacara
potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita ‘dan dibantu oieh
seorang sangging
(sebagai pelaksana langsung).
~Tata cara:
1 Yang diupacarai
terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2 Setelah itu
dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3 Selanjutnya naik ke
tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang
dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi
bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4 Upacara dilanjutkan
oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5 Orang yang diupacari
diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup
diberi pengurip-urip.
6 Setelah diberi
pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke
hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
~Mantram-mantramnya:
1. Mantram prayascita
dan bhyakala.
Om Hrim, Srim, Mam,
Sam, Warn, Saçwa rogha satru winasa ya rah phat.
Om Hrim. Srim. Am.
Tarn. Sam. Bam. Im, sarwa dandamala papa klesa, wenasaya rah, Um, phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um,
Mam, Sarwa,
papa petaka wenasaya
rah, Um phat,
Om Siddhi guru srom,
Sarwasat.
Om sarwa weghena
winasaya, sarwa papa wenasaya, astu ya namah swaha. Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,
semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan lain-lain
menjadi sirna.
2. Mantram mohon
persaksian.
Om adityasya
parantyoti rakta tejo nama stute, swera pang kajo mandhyaste Bhaskara ya namo
namah, pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa wia sanam, pranamya ditya siwartham
bhukti mukti warapradam.
Om rang ring sah
paramya Çiva dityaya namo namah swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,
semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu
dengan pertolongan hanya dariMu.
Om dimulyakanlah
Engkau ya Tuhan.
3. Mantram alat
pengasah.
Om Sang perigi manik,
aja sira geger lunga antinen kakang nira sang kanaka
teka pageh, tan
katekaning lara wigena,
teka awet, awet, awet.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,
semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.
4. Mantram pengurip-urip.
Om urip-urip bayu,
sabda idep teka urip, ang, ah.
Artinya:
Om Sang Hyang Widhi
Wasa, dalam wujud Brahma Maha Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba
memberikan kekuatan terhadap alat-alat ini.
5. Mantram
Mejaya-jaya.
Om Dirgayur Astu ta
astu,
Om subham astu tat
astu,
Om Sukham bhawantu,
Om Pumam bhawantu,
Om sreyam bhawantu,
Om Sapta wrddhin astu
tat astu astu swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa
semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang umur.
2.4 TANGGUNG
JAWAB ORANG TUA DAN KELUARGA
Upacāra Mapandes adalah
merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk menyelenggarakannya, dan bila
kita kaji secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita
yang menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang
pada akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan
kebahagian hidup di dunia ini) dan Mokṣa (bersatunya Ātman dengan Paramātman). Dalam
melakukan Yajña ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang
melaksanakan atau yang memiliki upacāra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten
dan sangging), dan Sang Pandita (yang memimpin dan menyelesaikan upacāra)
adalah ketulusan hati. Ketulusan ini patut pula diikuti oleh para Athiti tamu
undangan) guna Yajña tersebut berhasil Śiddhakarya. Untuk mengembangkan
ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya dapat
melakukan berbagai Brata, seperti Upavaśa (mengendalikan diri untuk tidak
menikmati makanan) pada saat puncak upacāra berlangsung, dan senantiasa
memusatkan pikiran kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk
keberhasilan dari Yajña yang diselenggarakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penggalian fosil – fosil
manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar
2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang
terlipat dan pada gigi – gigi mereka menunjukkan tanda – tanda yang telah
diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara
potong gigi sudah di kenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu. Upacara
Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia.
Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah
atau Mesanggih, kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah
diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari
kata masangih tersebut. meratakan empat gigi seri dan 6 buah taring yang ada di
deretan gigi atas dikikir atau ratakan pada rahang atas, yang secara simbolik
dipahat 3 kali, diasah dan diratakan,upacara ini merupakan satu kewajiban, adat
istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali
secara turun temurun sampai saat ini. Upacara
ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa,
dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan
bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah,
dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang
mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.
3.2
saran
Di harapkan bagi umat hindu agar selalu menjalankan kewajiban
dalam menjalankan upacara potong gigi karna ini bepengaruh pada kehidupan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar