TUGAS
DHARMA
WACANA
MAKNA
PERAYAAN HARI RAYAGALUNGAN DAN KUNINGAN
Oleh:
Nama:
Putu Yuli Supriyandana
NIM:
10.1.1.1.1.3852
Kelas:
PAH A / V
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
MAKNA
PERAYAAN HARI RAYAGALUNGAN DAN KUNINGAN
Om Swastyastu
Yadā yadā
hi dharmasya glānir bhavati bhārata,
abhyutthānam
adharmasya
tadātmānaṁ
sṛjāmy aham”
terjemahannya Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan
Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan Dharmam
merajalela, pada waktu itulāh Aku Sendiri menjelma,
wahai putra keluarga
Bhārata)
Bhagavadgītā 4.7.
1.Pendahuluan
Setiap
210 hari sekali berdasarkan penanggalan Bali-Jawa (Javano-Balinese Calender)
yakni pada hari Budha Kliwon Wuku Dungulan Umat Hindu diIndonesia merayakan
Hari Raya Galungan dan sepuluh hari kemudian akan disusul dengan perayaan
Kuningan. Galunganadalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spritual
agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana
dari Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran (Dharma) dalam diri manusia.
Disamping itu juga berarti kemampuan untuk membedakan kecendrungan
keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad) karena hidup
yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk
menguasai kecenderungan keraksasaan. Dalam lontar Sunarigama dijelaskan rincian
upacara Hari Raya Galungan sebagai berikut : "Rabu Kliwon Dungulan namanya
Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang
untuk melenyapkan segala kekacuan pikiran" Jadi inti Galungan adalah
menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan
pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacuan
pikiran (byaparaning idep) adalah wujud Adharma.
Rangkaian Perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan di India dikenal dengan
berbagai nama, di antaranya adalah Śraddhā Vijaya Daśami, Durgāpūjā atau
Mahanavami. Berdasarkan data prasasti yang ditemukan di Bali, yakni Turuñan
Prasasti yang berasal dari tahun 813 Śaka (891 M) yang menyebutkan haywahaywan
di māgha mahānavamī (Goris,1954:56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata
mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) Berarti merayakan.Haywahaywan di māgha
mahānavamī berarti perayaan Māgha Mahānavamī. Di India Mahānavami identik
dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur (Dubois,
1981:569). Swami Śivānanda (1991:8) mengidentikkan Dasara dengan Dūrgāpūjā yang dirayakan dua
kali setahun, yakni Rāmanavarātrī atau Rāmanavamī pada bulan Caitra (April-Mei), dan Dūrgānavarātrī atau
Dūrgānavamī pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini disebut juga
Vijaya Daśami atau Śrāddha Vijaya Daśami yang dirayakan selama sepuluh hari,
seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan di Indonesia. Hari Raya Galungan
sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar
berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya
Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat , Budha Kliwon
Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar
"Purana Bali Dwipa" Rangkaian
perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan rangkaian perayaan yang
paling panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu.
1. Rangkaian itu dimulai ketika hari Tumpek Pengarah atau Pengatag, yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga, tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Śaṅkara (nama lain Dewa Śiva) sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan
2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jabayaitu;Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa
merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.
3. Sugihan Bali; Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan
jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4. Panyekeban – puasa I;Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang atau tape untuk banten.
5. Penyajaan – puasa II;Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi
Dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama disebutkan :"Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6. Penampahan – puasa III;Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakniMabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara -kegelapan yang bercokol dalam diri. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri
7. Galungan – lebar puasa;Hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
8. Manis Galungan; Setelah merayakan kemenangan manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi hari in iumat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu: Dharma Cara- menyampaikan ajaran kebenaran dengan Satyam Vada – mengatakan dengan kesungguhan daan kejujuran.
9. Pemaridan Guru; Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknyanya pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan filosofisnya.
10. Sepuluh hari setelah Galungan disebut Kuningan merupakan tonggak
Kembalinya para dewata dan roh suci leluhur menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka (alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang disimbulkan melalui berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman, sulangi, tebo, dan endongan. Makna Penjelmaan Menjelma sebagai manusia menurut ajaran Hindu adalah kesempatan yang paling dan sangat baik, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan berbuat baik. Untuk berbuat baik dan benar nampaknya sangat sulit dilakukan oleh karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh setiap orang. Tantangan mulai ketika bayi lahir dari kandungan ibunya. Demikian lahir langsung menangis karena ia berhadapan dengan kejamnya alam, udara yang dingin atau kilauannya sinar matahari dan lain-lain. Bayi akan tumbuh menjadi manusia dewasa bila ia mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Tantangan yang paling berat yang dihadapi oleh umat manusia
adalah tantangan yang datang dalam dirinya sendiri, yakni sifat-sifat atau kecenderungan jahat yang merupakan sifat-sifat keraksasaan, kebalikan dariDaivisampad yang disebutAsurisampad (sifat-sifat Asura atau raksasa). Pertarungan antarasifat-sifat kedewataan dengan keraksasaaan inilah yang terus berlangsung dalam diri umat manusia yang sering mengejawantah dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Pertarungan ini berlangsung terus tiada hentinya. Siapa yang berhasil memenangkan pertarungan dengan berpihak pada kebajikan atau (Dharma) ialah yang sesungguhnya berhasil menegakkan Dharma.Hanya dengan berpihak kepada Dharma seseorang akan memperoleh keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Kemenangan pada kebajikan atau Dharma inilah diperingati melalui perayaan Galungan dan Kuningan, yang di India dikenal sebagai kejayaan Durga berhadapan dengan raksasa Raktawijaya, atau kemenangan Sri Rama berhadapan dengan raksasa Rawana yang dirayakan dalam upācara Durgapuja atau Dipawali yang sejenis dengan perayaan Galungan dan Kuningan di Indonesia. Pertarungan yang berlangsung sepanjang sejarah manusia itu, diamanatkan supaya umat manusia senantiasa berpihak dan perpegang kepada Dharma sebagai diamanatkan dalam terjemahan sloka Māhanārayana Upaniad XXII.1, berikut: “Dharmo viśvasya jagataḥ pratiṣṭhā, loke dharmiṣṭhaṁ prajā upasarpanti,Dharmeṇa pāpam apanudanti dharme sarvaṁ, pratiṣṭhaṁ tasmad dharmaṁ paramaṁ vadanti” - “Dharma adalah prinsip dasar dari segala sesuatu yang bergerak dan yang tidak bergerak di alam semesta ini.Seluruh dunia dansegenap umat manusia hendaknya selalu bergairah mengikutiajaran Dharma. Yang mengikuti ajaran Dharma terbebas dari segala dosa. Segala sesuatunya akan berjalan mantap bila di jalan Dharma. Untuk itu patutlah Dharma itu disebut ajaran yang tertinggi Demikian pula di dalam Manavadharmaśāstra VIII.15 dinyatakan: Dharma Raksati Dharma Raksitah yang artinya mereka yang selalu melaksanakan Dharma, dilindungi oleh Dharma. Adpun terjemahan lengkapnya adalah sebagai berikut. “Dharma eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ, tasmād dharmo na hantavyo mābo dharmo hato’vadhīt” “Dharma yang dilanggar menghancurkan pelanggarnya.Dharma yang dilaksanakan melindungi pelaksananya, oleh karena itu janganlah melanggar Dharma, sebabbagi yang melanggar Dharma akan menghancurkan dirinya sendiri” Memenangkan Dharma Bagaimana kita dapat memenangkan Dharma dalam era globalisasi? Globalisasi adalah proses atau trend kemajuan dunia melalui Ilmu Pengetatuhan dan Teknologi dengan ditandai oleh derasnya arus informasi, terutama dari masyarakat maju menuju masyarakat yang sedang berkembang.
Dalam era globalisasi ini seakan-akan tidak ada batas-batas antar negara atau bangsa-bangsa (Boderless nations and states) di dunia ini. Kita maklumi bersama bahwa Globalisasi tidaklah selalu berpangaruh dan berdampak negatif, banyak hal-hal positif yang dapat dipetik dalam era globalisasi ini, namun demikian pengaruh dan dampak negatifnya nampaknya cenderung lebih deras terutama menyangkut segi-segi moral, etika dan spiritual yang bersumber pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Dalam Hindu, dinyatakan bahwa bila orientasi manusia hanya material dan kesenangan belaka, maka orang itu dinyatakan hanya memuaskan Kama (nafsu duniawi). Kama manusia tidak akan pernah merasa puas, walaupun usaha memuaskan itu dilakukan terus-menerus dengan berbagai pengorbanan. Memuaskan Kama dinyatakan sebagai menyiram api yang berkobar besar, tidak dengan air, melainkan dengan minyak tanah, maka api tersebut akan menghancurkan hidup manusia.Di dalam kitab suci Bhagavadgītā dinyatakan bahwaKama, di samping jugaLobha danKrodha adalah tiga pintu gerbang yang mengantarkan Atma (roh) menuju jurang neraka dan kehancuran. Untuk itu, Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan agar umat manusia memilki kesadaran yang tinggi untuk menghindarkan diri dari ketiga belenggu tersebut.
Bagaimana caranya kita dapat menghindarkan diri tiga pintu gerbang neraf berupa Kama, Lobha dan Krodha yang merupakan perwujudan dari perbuatan atau perilaku Adharma ? Jawabannya adalah sederhana, yaitu kita mesti kembali kepada ajaran agama. Peganglah ajaran agama sebaik-baiknya. Biasakanlah berbuat baik dan benar atau berdasarkan Dharma, yang di dalam kitab Taittiriya Upanisad I.1.11: Satyam vada Dharmacara svadhyaya mapramadah - Berbicaralah jujur/benar, ikutilah ajaran Dharma, kembangkan keingan belajar dan memuja Tuhan Yang Maha Esa dan janganlah lalai/sampai lupa. Memang bila kita berbicara atau hanya membaca ajaran agama, nampaknya segala sesuatunya gampang dilaksanakan, namun dalam prakteknya sungguh berat. Untuk itu hendaknya ada tekad atau pemaksanaan untuk berbuat baik. Pemaksaan diri untuk selalu berbuat baik disebut Pratipaksa. Untuk kebaikan, paksakanlah, lakukankan, korbankanlah, tekunilah dan doronglah supaya perbuatan benar dan baik itu menjadi identitas kehidupan ini. Identitas atau integritas seseorang dapat dilihat dari kualitas pikiran, ucapan dan tingkah laku seseorang. Untuk selalu dapat berbuat baik, maka diajarkan bahwa setiap orang hendaknya melakukan 4 hal, yaitu:
1) Abhyasayang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu.
2) Tyāgaatau Vairagya yang artinya kendalikanlah atau tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan hidup kita.
3) Santosayang artinya beryukurlah terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kita kesempatan menjelma sebagai manusia untuk biasa memperbaiki diri dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan kita untuk mencapai Jagadhita (kesejahtraan jasmaniah) dan Moksa (kebahagiaan sejati).
4) Sthitaprajnayang artinya hidup berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu bergembira bila memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila menghadapi kemalangan atau kedukaan.
Aktualisasi Makna Hari Raya Hari-hari raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Galungan dan Kuningan adalah hari kemenangan dan kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vṛhaspatitattva, yaitu:
1) Sila, yakni senantiasa berbuat baik danbenar.
2) Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.
3) Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.
4) Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong
orang-orang miskin disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang
ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra Narayana.
5) Prawrijya, mengembara menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6) Diksa, penyucian diri dan
7) Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.Penutup
Dengan melaksanakan butir-butir perbuatan tersebut di atas sesungguhnya kita sudah dapat mengamalkan ajaran agama. Aktualisasi dari ajaran ini dikaitkan dengan masalah-masalah kekinian, misalnya dengan meningkatkan solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, mengembangkan moralitas dan mentalitas yang baik dan positif serta senantiasa aktif membangun masyarakat lingkungan di sekitar kita.
Om Santih Santih Santih Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar